Michael's POV
Gadisku...
Gadisku...
Gadisku...
There's so much thing we need to talk about. Tapi melihatmu tersenyum seperti ini di sampingku, menggenggam tanganku, aku tidak sanggup mengatakan hal itu yang kemungkinan akan menghancurkan kebahagiaanmu dalam sekejap mata.
So let me keep you smiling and i'll find my way to seek a solution.
*
"Aku akan mengantarmu ke hotel. Setelahnya kita baru pikirkan cara untuk mendapatkan passportmu lagi agar kau bisa kembali ke LA." Aku melipat selimut yang kami gunakan semalaman dan meletakkannya lagi ke dalam lemari. "Sebelum itu, kita mampir ke toko kelontong yang menolongmu dulu sekalian membeli roti untuk sarapan."
Aku menoleh saat tidak ada jawaban yang kuterima, dan mendapati Auryn sedang duduk sambil menatapku tanpa berkedip. Aku terkekeh dan berjalan mendekatinya lalu menyentil keningnya hingga ia meringis.
"Auh..." ia berdecak sebal.
"Aku tidak akan berubah menjadi pangeram berkuda putih meski kau pelototi terus, Auryn." Godaku. Kali ini aku mengambil jemuran jaket kami yang sudah mengering juga hangat.
Auryn mengikuti langkahku dan membantuku mengambil jaket kami. "Siapa bilang? Kau selalu menjadi pangeran berkuda putih dimataku sejak dulu." Ia menggembungkan pipinya. Lucu. "Aku hanya tidak menyangka kalau kemarin bukan mimpi. Aku yang hampir tidak bisa melihatmu, sekarang malah berdiri di sampingmu." Auryn mengenakan Jaket tebalnya setelah boots bulu yang kini sudah melekat indah di kakinya. tangannya menggenggam sebelah tanganku dengan erat lalu mengangkatnya di depan mata kami. "Kau milikku sekarang, bukan?"
"Aku memang selalu menjadi milikmu." Tapi aku yang belum berani memilikimu. Sambungku dalam hati. Ia tidak perlu mendengarkannya. Ia hanya perlu tertawa seperti ini saja, sisanya . Aku melepas genggaman tangannya dan meraih hoodie untuk menutupi kepalanya agar terasa hangat. "Kita pergi sekarang?"
Gadis dihadapanku mengangguk antusias. Namun tidak kukira kalau ia akan mengecup pipiku sebelum meraih masker wajahnya yang tersisa di gantungan kayu. "Selamat pagi!" Serunya.
Aku tercengang sambil menyentuh pipiku, lalu terkekeh kemudian.
*
Sepanjang perjalanan sehabis kami berterima kasih dengan pemilik toko kelontong yang sudah menolong Auryn, dan berada di perjalanan ke hotel Auryn dengan taksi, Auryn terus menggenggam tanganku dan menatapku sambil memamerkan senyumnya.
Tak perlu kutanyakan untuk mengetahui kalau gadis ini sedang berada di ambang bahagia tertingginya saat ini.
"Kita harus mengabari Marvel dan Austin kalau kau baik-baik saja. Mereka terdengar panik." Usulku mengingat seberapa panik kedua 'mantan' saudaraku itu.
"Biarkan saja mereka. Aku masih marah." Gerutu Auryn tidak suka aku mendadak membicarakan kedua kakaknya.
Senyumku tertarik dan aku menyentuh lengan Auryn lembut. "Kalau kau mau marah, seharusnya aku yang kau musuhi. Bukan mereka."
"Tapi kan..."
"Aku yang menyembunyikan ini, Sugarbee. Bukan mereka."
Wajah Auryn berubah merona dan aku baru menyadari ucapanku yang membuatnya berubah merona seperti itu. Aku sendiri juga sudah sangat gatal dengan pura-pura asing pada Auryn beberapa hari belakangan ini.
"Baiklah, aku akan memaafkan mereka demi kau." Cicitnya mengalah tanpa perdebatan berarti.
Bersamaan dengan itu, ponselku yang semalaman kehilangan jaringan berbunyi membuatku dan Auryn terpaksa membuka jarak agar aku bisa mengambil ponsel itu dari saku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Line [#MFFS 2]
RomancePart 8 Keatas di PRIVATE! Follow agar bisa terus membaca. terima kasih ^^ Apa yang bisa dilakukan kalau cinta datang tanpa pemberitahuan? Apa yang bisa dilakukan kalau laki-laki yang selama ini menjaga dan melindungimu, laki-laki yang merupaka...