Jilid 4

2.7K 42 0
                                    

"Sobat gendut minta ciuman pipi kanan dan sobat kurus minta ciuman pipi kiri? Baiklah, akan kuberi ciuman seorang satu kali saja, kalau kurang nanti boleh tambah lagi!"

Mendengar ucapan ini, si gendut dengan lagak lucu menggosok-gosok pipi kanannya agar bersih, siap menerima ciuman sedangkan si kurus juga berseri-seri wajahnya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh dara itu bergerak dengan amat cepatnya sehingga bayangannya saja yang nampak, kedua kakinya melayang ke atas.

"Plakk! Plakkk!"

Tubuh si gendut dan si kurus itu terpelanting dan terbanting jatuh bergulingan. Mereka mengaduh-aduh sambil memegangi pipi masing- masing, dan ketika mereka merangkak bangkit duduk, ternyata pipi kanan si gendut bengkok dan biru sedangkan bibirnya mengalir darah karena empat buah gigi di ujung kanan patah-patah, sebaliknya si kurus memegangi pipi kirinya yang juga bengkak dan bibirnya berdarah. Kiranya gadis tadi, dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, telah menendang pipi kanan si gendut dengan kaki kiri sedangkan kaki kanannya menyambar pipi kiri si kurus. Tendangan itu selain cepat, juga mengandung tenaga besar sekali, membuat kedua orang itu merasa seolah-olah kepala mereka telah copot.

"Hei, kenapa engkau menendang orang?" Empat orang penjaga yang meli hat adegan itu menjadi terkejut dan marah, lalu berlari mendatangi dan mengurung gadis itu sambil mencabut golok.

"Bukankah mereka yang minta ciuman pipi kanan dan pipi kiri?" Gadis itu balas bertanya dengan sikap mengejek.

"Itu bukan ciuman!" bentak seorang di antara para penjaga.

"Aku tadi tidak mengatakan cium dengan apa! Apakah kalian kira aku akan sudi mencium pipi mereka dengan hidung atau bibirku? Aih, tak usah, ya? Aku sudah memberi ciuman dengan ujung sepatu, masing- masing satu kali, kalau kurang boleh ditambah lagi. Apakah kalian berempat juga ingin minta bagian ciuman?"

Pada saat itu, si gendut dan pembantunya sudah bangkit berdiri. Pipi mereka semakin besar bengkaknya dan dengan mata merah si gendut kini memandang kepada gadis itu. Hatinya lebih nyeri daripada pipinya. Rasa malu mengatasi rasa nyeri dan lebih mendatangkan dendam daripada kewaspadaan. Sesungguhnya, gerakan gadis itu yang dalam sekali gerak saja sudah mampu merobohkan dia dan pembantunya, sudah cukup membuktikan bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang berilmu tinggi. Akan tetapi, perasaan dendam membuatnya mata gelap.

"Tangkap perempuan iblis ini! Bunuh...!" Dia sendiri sudah mencabut golok besarnya dan bersama lima orang anak buahnya, dia lalu menerjang dan menyerang gadis itu dengan amat ganasnya. Gerakan golok mereka berenam itu jelas merupakan serangan untuk membunuh. Sinar golok mereka berkilauan tertimpa sinar matahari yang mulai menimpakan cahayanya setelah ditinggalkan awan dan setelah hujan mulai berhenti menitik.

Akan tetapi, pandang mata enam orang penjaga itu menjadi kabur ketika mereka melihat betapa nona di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja yang mengelak ke kanan kiri dengan kecepatan yang luar biasa. Semua tusukan dan bacokan golok tidak ada yang mengenai sasaran bahkan pada saat golok terayun, bayangan itu telah lenyap untuk muncul di tempat lain. 

Ketika tiba-tiba si gendut melihat bayangan dara itu muncul di depannya sambil ter-senyum mengejek, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan goloknya menyambar ke arah leher nona itu dengan kecepatan kilat dan pengerahan tenaga seluruhnya. Karena didorong oleh kemarahan dan nafsu membunuh yang berkobar, kepala jaga gendut ini lupa akan pantangan dalam gerakan silat. Pantangan ini adalah mempergunakan seluruh tenaga dalam serangan. Seharusnya, dalam setiap serangan, orang selalu mempergunakan tenaga terbatas agar masih ada sisa tenaga untuk memperkuat kedudukan kaki dan untuk persiapan penjagaan diri. Namun, si gendut melakukan serangan dengan mengerahkan seluruh tenaga. 

Maka, ketika gadis itu dengan amat lincahnya mengelak, si gendut tak dapat mengendalikan dirinya lagi dan diapun terdorong oleh tenaganya sendiri tanpa kakinya dapat mengatur keseimbangan badan lagi, tubuhnya tersungkur ke depan. Pada saat itu, kaki gadis itu kembali menciumnya, sekali ini mencium dada sebelah kiri.

"Ngekk...!" 

Si gendut terpelanting dan tahu-tahu goloknya telah terampas oleh nona itu. Sambil tersenyum, nona itu menggerakkan golok rampasan ke arah si gendut yang memandang terbelalak dan wajahnya pucat sekali karena dia tahu bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba golok itu dilepas oleh si nona dan meluncur ke bawah, gagangnya di depan dan menyambar ke arah si gendut.

"Krekkkk...!" 

Si gendut mengeluh akan tetapi sukar mengeluarkan suara karena mulutnya dipenuhi gagang golok yang telah membuat seluruh gigi dalam mulutnya rontok! Ada beberapa buah gigi yang tertelan dan kini dia mendelik, menggunakan kedua tangan untuk mengeluarkan golok itu yang gagangnya tertanam dalam mulutnya.

Setelah merobohkan kepala jaga, nona itu lalu meloncat ke atas punggung kudanya. Lima orang penjaga mengejarnya dengan golok akan tetapi tiba-tiba nona itu mengeluarkan pekik melengking dan kedua tangannya bergerak ke kanan kiri. 

Sungguh hebat! Tanpa tersentuh, tubuh lima orang penjaga itu terpelanting semua dan terbanting roboh seperti terlanda angin yang amat kuat. Dan ketika mereka bangkit berdiri, kuda itu telah lari memasuki kota.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang