Jilid 61

1.4K 26 1
                                    

Hidup kita adalah urusan kita sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain, dengan siapapun juga. Hidup dan mati kita adalah urusan kita, kita sendiri yang akan menanggung, kita sendiri yang berhak menikmati, kita sendiri pula yang akan menderita, kita sendiri yang membuat kehidupan kita sendiri ini menjadi sorga atau neraka! Kita hidup ini berarti kita sendirian, walaupun secara lahiriah kita saling bergantung dan saling bersandar dengan orang-orang lain. Akan tetapi kehidupan kita adalah urusan kita sendiri. 

Kita harus berani menghadapi kenyataan ini, ialah bahwa kita ini sendirian! Bukan berarti kita kesepian! Sekali kita bergantung kepada orang lain secara batiniah, akan muncullah rasa kesepian itu kalau kita berpisah dari orang kepada siapa kita bergantung atau bersandar! 

Dan perpisahan selalu menjadi akhir daripada pertemuan. Ketergantungan kepada orang lain ini yang menimbulkan rasa takut dan rasa kesepian, rasa sengsara. Juga ketergantungan kepada benda, kepada ajaran-ajaran, gagasan, kelompok dan sebagainya. Ketergantungan berarti suatu ikatan. 

Secara lahiriah, sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita mempunyai hak untuk mempunyai yang dilindungi oleh hukum. Akan tetapi, lahiriah boleh saja kita mempunyai sesuatu, mempunyai isteri, anak, keluarga, sahabat, harta benda, kedudukan dan sebagainya. Namun, sekali kita memilikinya secara batiniah, kita akan terikat. Apa yang kita miliki secara batiniah itu akan mengakar di dalam hati sehingga kalau sewaktu-waktu dicabut, hati ini akan terluka dan menderita! 

Bukan berarti bahwa acuh tak acuh terhadap segala yang kita punyai termasuk anak isteri dan keluarga. Cinta kasih akan mendatangkan perhatian, rasa sayang, iba hati, namun cinta bukan berarti ikatan batin. Sebaliknya, kalau batin terikat, yang mengikat itu adalah nafsu ingin senang, nafsu ini yang ingin memiliki secara batiniah, ingin menguasai, dan dari sini timbullah benih-benih pen-deritaan.

Betapa kita selalu ingin memiliki ini dan itu, bahkan ingin memiliki segala-galanya yang menyenangkan hati kita! Keinginan memiliki ini tidak ada batasnya, dan nafsu keinginan memiliki inilah yang mendorong kita ke arah perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menjurus ke arah kejahatan. 

Padahal, apakah yang dapat kita miliki sesungguhnya? Apakah yang abadi di dunia ini? Bahkan tubuh kita sendiripun tidak dapat kita miliki selamanya! Semuanya akan musnah pada saatnya. Karena itu, keinginan memiliki sudah pasti menjadi sumber segala derita. Hati Hui Song murung karena kecewa oleh ulah Sui Cin yang meninggalkannya begitu saja tanpa memberi kesempatan untuk saling berkenalan. Yang membuat hatinya semakin penasaran adalah bahwa dara itu sudah mengenalnya sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan dia sendiri, mendugapun belum dapat siapa adanya dara itu!

Dengan murung dia melanjutkan perjalanan, bermaksud untuk pulang ke Cin-ling-san dan menemui orang tuanya, bukan hanya untuk melaporkan tentang pertemuan yang gagal di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi terutama sekali dia hendak mencari keterangan dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling- pai, yang menguasai ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai agar dia dapat menduga siapa adanya gadis manis itu.

Pada keesokan harinya, tibalah dia di kota Cin-an yang besar dan ramai. Kota ini ramai sekali terutama karena letaknya di tepi sungai Huang-ho. Dari kota ini, melalui sungai, orang dapat mengunjungi kota- kota besar, bahkan sampai di kota raja. Para saudagar dan pelancong hilir mudik mengunjungi kota Cin-an sehingga kota ini menjadi makmur dan toko-toko serba lengkap dan besar.

Tidak ada orang menaruh terlalu banyak perhatian terhadap diri Hui Song, seorang pemuda biasa yang pakaiannya bersahaja, kebesaran dan ada tambalan di sana-sini walaupun cukup bersih. Tidak ada seorangpun dapat menyangka bahwa pemuda tinggi besar yang berwajah gembira ini adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, putera tunggal ketua Cin-ling-pai, nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song adalah seorang pemuda yang berjiwa sederhana dan gembira. 

Biarpun dia putera ketua Cin-ling-pai dan dalam melakukan perjalanan itu dia membawa bekal uang secukupnya, namun dia selalu makan di pasar, di warung-warung kecil dan tidurnyapun kebanyakan di kuil-kuil kosong atau di hutan, dan kalau terpaksa tidur di rumah penginapan, diapun memilih rumah penginapan yang kecil sederhana dan tidak banyak tamunya.

Hari telah siang ketika dia memasuki Cin-an. Pertama-tama yang dilakukannya adalah melakukan penyelidikan tentang Kang-jiu-pang. Dia mendengar bahwa pasukan pemerintah menyerbu pusat perkumpulan itu dengan tuduhan memberontak, akan tetapi tidak ada seorangpun anggauta Kam-jiu-pang yang tertangkap karena sarang itu sudah kosong tak tampak seorangpun anggauta Kang-jiu-pang. 

Mendengar ini, Hui Song tersenyum gembira. Dia bersimpati kepada perkumpulan orang-orang gagah ini yang dengan cara mereka sendiri hendak membersihkan pemerintah dari tangan pembesar korup. Sayang usaha mereka itu terlalu kasar, hendak mengganggu kaisar sehingga usaha mereka gagal dan mereka bahkan kehilangan beberapa orang anggauta yang tewas oleh amukan iblis-iblis Cap-sha-kui. Hatinya gembira mendengar betapa orang-orang Kang-jiu-pang mentaati nasihatnya dan semua telah melarikan diri sebelum pasukan pemerintah menyerbu. Dengan langkah ringan dan hati senang diapun memasuki pasar di kota itu untuk mencari pengisi perutnya yang sudah terasa lapar.

Begitu memasuki pasar, Hui Song tertarik oleh suara ribut-ribut di lapangan terbuka di luar pasar yang ramai pula dengan orang-orang berjualan dan orang-orang yang datang berbelanja. Di luar pasar ini dijual sayur-mayur yang diletakkan di dalam keranjang-keranjang atau diletakkan di atas tikar-tikar yang dibentangkan di atas tanah begitu saja. 

Keramaian yang terjadi di luar pasar ini bukan keramaian biasa karena Hui Song melihat banyak orang berpakaian jembel berlari-larian dengan wajah gembira sekali. Hatinya tertarik dan diapun melangkah mendekat ke tempat di mana para jembel itu berkerumun merubungi sesuatu. Dan diapun terheran melihat seorang pemuda remaja yang juga berpakaian tambal-tambalan berdiri di tengah-tengah rubungan para jembel itu. 

Pemuda ini berwajah kotor penuh debu sehingga sukar dikenali wajahnya, penuh keringat pula, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar gembira. Di sebelahnya terdapat sebuah karung yang terisi logam penuh! Dan pemuda remaja ini sedang membagi-bagikan uang kepingan itu kepada para jembel, begitu royalnya dia menyebar uang seperti orang membuang pasir saja! Tentu saja hal ini menggegerkan orang sepasar karena sungguh merupakan penglihatan luar biasa jika seorang pemuda remaja jembel membagi-bagikan uang yang sedemikian banyaknya kepada kaum jembel dengan sikap seorang hartawan besar yang sudah kebanyakan uang rupanya. 

Kini bukan hanya para jembel yang antri untuk menerima bagian pemberian, bahkan mereka yang miskin dan kebetulan berada di pasar, baik untuk berjualan maupun untuk berbelanja, tidak malu-malu untuk ikut pula antri. Pemuda remaja itu kelihatan gembira sekali, membagi-bagikan uang sambil tertawa-tawa.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang