Akhirnya, setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu melepaskan kempitannya. Sui Cin membanting-banting kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang kepadanya dengan tenang saja.
"Nona, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku tahu bahwa engkau seorang yang baik hati den pemberani, akan tetapi sunggguh aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal budi."
"Tidak mengenal budi? Apa maksudmu berkata demikian?" Sui Cin bertanya galak.
"Engkau tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, tidak minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak meronta-ronta dan berteriak-teriak seolah- olah aku sedang menculikmu, bukan sedang menolongmu." Biarpun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya tetap halus dan sopan, tidak kasar.
Akan tetapi Sui Cin adalah seorang anak yang manja den bengal. Ia bertolak pinggang den memandang dengan mata terbelalak melotot. "Siapa yang minta kau tolong? Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku? Dan mengapa pula yang kau tolong hanya aku seorang? Kenapa yang lain-lain kau diamkan saja?"
Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si pemuda.
Pemuda itu kelihatan kewalahan, akan tetapi dia menjawab juga, "Karena aku melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-kalau engkau akan celaka di tangan mereka."
"Huh, begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki biasa, tentu engkau tidak akan per-duli. Engkau hanya menjadi penolong perempuan saja? Hemm, di situ sudah terdapat pamrih yang kotor!"
Pemuda itu menjadi marah, mengepal tinju akan tetapi dia tetap dapat menguasai dirinya dan diapun membalikkan tubuhnya dan berkata, "Sesukamulah. Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat tinggal!"
Pemuda itu meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam. Gadis itupun tertawa, dengan suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu menjadi marah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan tetapi dia tidak mungkin dapat memperlithatkan kemarahannya dengan bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi seorang gadis muda yang hidupnya demikian sengsara, sampai-sampai menyamar sebagai seorang pemuda untuk menghindarkan kesuiltan-kesulitan.
Seorang gadis yang tidak mempunyai tempat tinggal, yatim piatu dan miskin. Dia percaya akan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum. Biarpun hanya seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri dara remaja itu yang mengagumkan hatinya. Dara itu sedemikian beraninya! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang pendekar. Wanita muda itu sama sekali, tidak cengeng, dan sama sekali tidak kelihatan ketakutan walaupun terancam malapetaka hebat, walaupun bahkan sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main!
Pemuda itu lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan di mana dia tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal di situ karena dia sedang menanti datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga hari lagi di Puncak Bukit Perahu. Dia datang sebagai wakil ayahnya, juga mewakili partai ayahnya yang berada jauh di utara, di luar Tembok Besar. Akan tetapi, biarpun dia mewakili ayahnya, dia hanya datang sebagai peninjau saja. Ayahnya melarangnya untuk melibatkan diri atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian dan permusuhan.
Pemuda ini bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis, telah diceritakan bahwa Cia Han Tiong putera dari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, telah menikah dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, di luar Tembok Besar.
Mereka hidup rukun den saling mencinta, dan dikaruniai seorang putera yang mereka beri nama Cia Sun. Tentu saja, sebagai seorang pendekar sakti, Cia Han Tiong me-wariskan ilmu-ilmunya kepada puteranya itu sehingga setelah dia berusia dua puluh dua tahun sekarang ini, Cia Sun telah menguasai semua ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang, Thai- kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-ling-pai, kemudian mahir pula ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Cia Sun berwatak pendiam dan serius, seperti ayahnya. Namun perasaannya halus seperti ibunya dan biarpun dia tidak dapat disebut tampan, namun harus diakui bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar karena pendiam dan seriusnya.
Seperti diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis, terdapat hubungan yang amat erat. Mereka adalah saudara angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung saja. Biarpun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan, di antara keduanya tidak pernah sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih sayang antara saudara itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Berdarah
RomanceLanjutan Siluman Gua Tengkorak Kisah Cinta dua pasang muda mudi yang penuh dengan konflik dan pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang di harapkan, siapakah pasangan muda mudi yang bertualangan cinta...