Jilid 75

1.4K 27 0
                                    

Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tumpukan tiga bongkah batu itu memberi hormat, kemudian sejenak mereka bersamadhi di tempat itu seperti orang mohon berkah. Ketika akhirnya mereka bangkit berdiri, wajah mereka penuh semangat dan dengan langkah tegap mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Istana Lembah Naga.

Ketika mereka keluar dari hutan dan melihat bangunan kuno menjulang tinggi di depan, mereka berhenti lagi. Bagaimanapun juga, wajah mereka nampak tegang dan agaknya mereka gentar juga melihat istana tua yang kokoh itu, seolah-olah melambangkan kekokohan dan kekuatan para penghuninya. 

Kemunculan mereka itu bukan dari depan istana, melainkan dari samping kanan, maka mereka tidak melihat bahwa pada saat itu ketua Pek-liong-pai dan isterinya sedang berdiri di serambi depan. Sebaliknya, empat anggauta Pek-liong-pang yang bertugas di sebelah kanan istana itu, melihat kemunculan kakek dan nenek yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu. Tentu saja mereka merasa heran dan cepat mereka menunda pekerjaan mereka. Dua orang di antara mereka menghampiri dan melihat bahwa yang datang adalah dua orang tua, dua murid Pek-liong-pai cepat memberi hormat. Itulah satu di antara ajaran yang mereka dapatkan di perguruan Pek-liong-pai, yaitu menghormati orang yang lebih tua.

"Maaf, lopek berdua hendak mencari siapakah?" tanya seorang di antara dua murid Pek-liong-pai itu.

Kakek dan nenek itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian si kakek bertanya, suaranya terdengar asing dan kaku, tanda bahwa dia adalah seorang asing, "Kami mencari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"

Dua orang murid tingkat tiga dari Pek-liong-pai itu saling pandang dengan kaget dan heran. Kakek dan nenek ini mencari kakek guru mereka yang telah meninggal dunia!

"Tapi... beliau telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu..."

Kini kakek dan nenek itu saling pandang dengan wajah membayangkan kekecewaan. Kakek itu lalu menoleh ke arah istana tua dan bertanya, "Lalu, siapa yang tinggal di dalam istana itu?"

"Yang tinggal di situ adalah suhu dan subo..."

"Siapakah mereka?" tanya si nenek dengan cepat.

"Suhu adalah ketua Pek-liong-pai, perkumpulan kami..."

"Apa hubungannya dengan Pendekar Lembah Naga?"

Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, dua orang murid Pek-liong-pai mengerutkan alisnya. Kakek dan nenek ini jelas orang asing, akan tetapi sungguh tidak sopan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Akan tetapi demi kesopanan terhadap orang yang jauh lebih tua, mereka menjawab juga.

"Suhu adalah putera beliau."

Dua pasang mata tua itu memancarkan sinar yang mengejutkan hati dua orang murid Pek-liong-pai itu. "Jadi kalian adalah cucu murid Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong si jahanam?" teriak si nenek marah.

Dua orang laki-laki yang usianya mendekati tiga puluh tahun itu terkejut akan tetapi mengangguk. Tiba-tiba nampak sinar berkelebat ketika kakek dan nenek itu menggerakkan tongkat mereka ke depan. Dua orang murid Pek-liong-pai terkejut sekali dan berusaha menghindarkan diri dari serangan kilat itu. Namun, gerakan mereka jauh kalah cepat.

"Kekkk! Kekk!" 

Dua orang murid Pek-liong-pai itu terjengkang roboh dan tewas seketika dengan lubang tepat di tenggorokan mereka yang mengucurkan darah hitam! Mereka roboh dan tewas tanpa berkelojotan lagi. Sungguh mengerikan dan hebat bukan main serangan kakek dan nenek itu.

Dua orang murid lain yang melihat betapa dua orang saudara seperguruan mereka roboh dan tidak bangkit kembali, menjadi kaget dan merekapun cepat lari menghampiri ke tempat itu. Ketika mereka melihat kenyataan yang mengejutkan bahwa dua orang saudara mereka itu telah tewas dengan mata mendelik dan leher berlubang, tentu saja keduanya marah bukan main.

"Kenapa kalian membunuh dua orang sute kami?" bentak seorang di antara mereka.

"Mampuslah!" Kakek itu membentak dan kembali dua batang tongkat kakek dan nenek itu menyambar ke depan. 

Akan tetapi, dua orang murid Pek- liong-pai itu selain lebih tangkas daripada dua orang sute mereka yang tewas, juga mereka telah siap sedia karena sudah tahu bahwa kakek dan nenek itu adalah orang orang yang memusuhi mereka, maka sambaran tongkat itu dapat mereka elakkan dengan cara melempar tubuh ke belakang.

Akan tetapi kakek dan nenek itu menyerang terus dengan gerakan yang amat dahsyat. Mereka hanya mampu mengelak beberapa kali dan ketika terpaksa mereka menangkis, terdengar suara nyaring dan tulang lengan mereka patah bertemu tongkat. Seorang di antara mereka sempat mengeluarkan pekik melengking untuk memperingatkan semua murid Pek-liong-pai sebelum mereka berdua roboh, sekali ini bukan oleh tusukan ujung tongkat, melainkan karena tamparan tangan kiri kakek dan nenek itu. 

Tamparan itu hebat bukan main karena sama sekali tidak dapat dielakkan lagi dan robohlah mereka dengan tubuh utuh. Kepala mereka yang kena ditampar dan tanpa kelihatan terluka, mereka roboh dan tewas seketika. Hanya nampak tanda menghitam di pelipis mereka bekas tangan kakek dan nenek itu. Ternyata isi kepala mereka telah terguncang dan rusak oleh tenaga tamparan yang amat ampuh itu!

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang