Jilid 89

1.3K 26 0
                                    

Sejak tadi, perahu kecil yang nampak dari jauh tadi sudah bergerak menuju ke pantai itu. Kakek sendirian yang duduk di perahu kecil itu bukan nelayan karena dia duduk sambil memainkan sebuah alat yang-kim (semacam siter). Ketika kakek itu melihat robohnya Sui Cin, dia menghentikan permainan musiknya.

Kakek penabuh yang-kim ini adalah Shan-tung Lo-kiam. Seperti telah kita ketahui, kakek sasterawan pendekar ini pernah muncul pula dalam pertemuan antara para datuk sesat. Dia ikut mendengar rencana kaum sesat untuk membunuh Menteri Liang yang sejak lama menjadi sahabat baiknya, maka dia selalu mengamati. 

Hari itu dia mendengar bahwa Menteri Liang akan pesiar di Telaga Emas. Oleh karena itulah maka dia menanti di situ untuk ikut melindunginya. Ketika pagi hari itu dia melihat seorang gadis yang tidak dikenalnya dirobohkan orang, tentu saja pendekar tua ini tidak tinggal diam dan segera mendayung perahunya ke pantai.

"Siancai...! Di tempat hening seperti ini masih saja ada kejahatan!" Shan-tung Lo-kiam meloncat naik ke darat sambil membawa alat musik yang-kim yang tadi ditabuhnya.

Melihat munculnya seorang kakek tua renta membawa yang-kim, orang yang merobohkan Sui Cin dengan totokan itu memandang galak. Dia adalah seorang kakek yang perutnya gendut sekali. Dan kakek ini pernah dilihat oleh Sui Cin ketika ia mengintai di gedung Hwa-i Kai-pang bersama Hui Song. Kakek inilah yang bernama Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai- pang baru yang menjadi pembantu ketua perkumpulan pengemis ini. Dia cukup lihai dengan tongkatnya dan juga licik sehingga ketika Sui Cin lengah tadi karena berhasil membuat Sim Thian Bu terjengkang, dara itu berhasil ditotoknya.

"Hemm, tua bangka bosan hidup dari mana berani mencampuri urusan kami?" bentak kakek berperut gendut itu.

"Bhe-lopek, dia adalah Shan-tung Lo-kiam, musuh kita!" Tiba-tiba Sim Thian Bu berseru. Ternyata pemuda ini tidak terluka parah, tadi hanya terjengkang karena dahsyatnya tenaga dara itu.

Mendengar nama ini, kakek perut gendut terkejut dan cepat dia menyerang dengan tongkatnya, menghantam ke arah kepala lawan. Shan- tung Lo-kiam mengangkat alat musiknya menangkis.

"Trang... cringg...!" 

Terdengar suara nyaring ketika tongkat bertemu yang-kim. Dua orang kakek itu lalu berkelahi dengan seru. Sementara itu, sambil tersenyum licik, Sim Thian Bu menyambar tubuh Sui Cin yang lemas, memanggulnya dan membawanya lari dari situ.

Perkelahian antaya dua orang kakek itu terjadi cepat dan seru, akan tetapi si gendut segera mengerti bahwa kakek yang menjadi lawannya itu terlalu kuat baginya. Melihat Sim Thian Bu sudah melarikan gadis tadi, diapun meloncat dan melarikan diri memasuki hutan di tepi telaga. Kakek pemegang yang-kim itu tidak mengejar, melainkan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika dia tidak melihat ke mana dara tadi dilarikan, dia hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang, kemudian diapun melompat kembali ke dalam perahunya dan mendayung perahunya ke tengah telaga. Dia memiliki tugas yang dianggapnya lebih penting daripada mencari dara yang dilarikan orang itu.

Orang-orang mulai berdatangan ke tepi telaga. Nelayan dan pelancong. Keadaan tenang dan biasa saja seolah-olah tidak pernah dan tidak akan terjadi sesuatu yang luar biasa di tempat itu.

Kemudian, saat yang ditunggu-tunggu dengan hati tegang oleh orang- orang yang bersembunyi, tibalah. Sebuah kereta yang dikawal enam orang perajurit datang ke tepi telaga. Dengan pengawalan ketat, seorang laki-laki berpakaian pembesar bergegas menuruni kereta dan masuk ke dalam sebuah perahu besar yang memang sudah siap di pantai itu. Itulah Menteri Kebudayaan Liang, pejabat tinggi yang gemar memancing ikan di telaga itu. Perahu itu berlayar ke tengah telaga. Peristiwa ini tidak menarik perhatian orang yang asyik dengan kesibukan masing-masing dan sebentar saja perahu besar yang kini berada di tengah telaga itu sudah dilupakan orang.

Sementara itu, kesibukan-kesibukan rahasia terjadi di sekitar tempat itu. Sebuah perahu hitam dengan bilik tertutup didayung cepat oleh dua orang, meluncur ke tengah telaga menuju perahu besar Menteri Liang. Setelah perahu hitam tiba dekat perahu besar, mendadak tiga orang berlompatan naik ke atas perahu besar dengan kecepatan luar biasa. Mereka itu adalah Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo! Serentak mereka menyerbu pembesar yang asyik duduk memegang tangkai pancing itu.

"Tar-tar-tar...! Pembesar Liang, bersiaplah engkau untuk mampus!" Kiu- bwe Coa-li yang memegang tugas membunuh pembesar itu menerjang sambil menggerakkan cambuknya yang berekor sembilan. Sinar hitam menyambar ke arah pembesar itu dari belakang. Kakek dan nenek Kui-kok itupun sudah berhantam melawan enam orang perajurit pengawal dan terkejutlah mereka ketika mendapatkan kenyataan bahwa pera pengawal itu ternyata rata- rata memiliki ilmu silat tinggi. Dan terjadilah perkelahian hebat antara suami isteri Kui-kok-pang itu melawan pengeroyokan enam orang pengawal istimewa.

Akan tetapi yang paling kaget adalah Kiu-bwe Coa-li. Ketika cambuknya menyambar, tiba-tiba Menteri Kebudayaan Liang itu menggerakkan tangkai pancingnya ke belakang.

"Wuuuttt...! Ayaaaa... aduuuhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak kesakitan. 

Tali pancing yang panjang itu menangkis dan membelit cambuk, membuat sembilan ekor cambuk itu lumpuh dan ujung tali kail masih menyambar dan mengait pangkal lengan kiri nenek iblis itu, masuk ke dalam daging tua! Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya dan nenek itu cepat mencengkeram dan membikin putus tali pancing sehingga mata kail itu tertinggal di daging pangkal lengannya. 

Pembesar itu sudah bangkit berdiri dan membalikkan tubuh. Kiranya dia seorang pemuda tampan yang tertawa gembira, dengan nada mengejek. "Wah, tak kusangka pancingku mendapat seekor ikan siluman ekor sembilan!"

Kiu-bwe Coa-li memandang dengan mata mendelik dan kemarahannya memuncak ketika ia melihat bahwa orang yeng memakai pakaian pembesar ini ada-lah seorang pemuda, sama sekali bukan Menteri Kebudayaan Liang. Ia dan teman-temannya telah tertipu dan terjebak. Ada orang yang sengaja menyamar den menggantikan pembesar itu untuk menyambut serangan mereka.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang