Jilid 68

1.3K 24 0
                                    

"Perutmu juga!" jawab Sui Cin dan keduanya tertawa geli. "Salahmu!" Sui Cin mengomel akan tetapi wajahnya kini berseri kembali. "Dugaanmu yang keji membuat aku marah dan membuang makanan kita. Sekarang kita lapar dan aku hanya tinggal mempunyai roti tawar kering saja."

"Roti tawar amat enak dimakan ketika perut lapar."

"Memang."

"Dan dapat mengenyangkan perut," kata pula Hui Song.

"Memang."

Biarpun membenarkan ucapan pemuda itu, namun Sui Cin belum juga mengeluarkan roti tawar yang tersimpan dalam buntalannya dan ia nampak termenung.

Hui Song memandang heran. "Kalau kita lapar sekali... dan roti tawar itu cukup enak..."

Tiba-tiba Sui Cin mengangkat mukanya dan memotong. "Engkau suka swike...?"

Tentu saja Hui Song terkejut mendapat pertanyaan mendadak seperti serangan pedang runcing ditusukkan ke jantungnya itu. "Apa...?"

"Engkau suka swike, terutama kodok batu...?" Kembali Sui Cin bertanya dan ia menoleh ke kiri, memandang ke puncak bukit di mana nampak beberapa ekor burung pipit beterbangan. 

Hui Song memandang dengan mata terbelalak kepada wajah yang kotor berdebu itu, alisnya berkerut, takut kalau-kalau pemuda jembel ini mempunyai keistimewaan lain lagi yang tidak menguntungkan, yaitu otaknya miring!

Orang yang tidak beres ingatannya harus disetujui saja kata-katanya, tidak boleh dibantah, demikian pikirnya. Maka diapun mengangguk pasti. "Ya, ya... aku suka sekali."

"Kalau begitu tunggu di sini sebentar, jangan pergi ke mana-mana!" Dan sebelum Hui Song sempat menjawab, Sui Cin telah meloncat dan berkelebat lenyap dari situ, seperti terbang cepatnya ia berlari ke arah puncak bukit yang sejak tadi dipandanginya itu. Hui Song bengong saja mengikuti bayangan itu sampai lenyap ditelan rimbunnya pohon-pohon dan semak-semak.

Tak lama kemudian, sambil tertawa-tawa pemuda jembel itu datang lagi. Kedua tangannya memegang kaki belakang empat ekor katak yang besar- besar dan gemuk-gemuk! Keempat katak itu bergantung tak bergerak, dan dari kaki belakang sampai kepala, panjangnya tidak kurang hampir dua kaki! Seperti katak raksasa saja! Kulitnya hitam-hitam kehijauan, lorek-lorek indah.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang