Jilid 110

2.4K 30 1
                                    

"Awas, jangan masuk dulu dengan sembrono!" Hui Song memperingatkan dan betapapun ingin hati Siang Hwa, ia cukup waspada dan mentaati peringatan ini. Terdengar suara keras dan tiba-tiba dari dalam lubang gua itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang sudah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun! Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.

"Aih, sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.

Hui Song mempergunakan tenaga sin-kang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan kedua telapak tangannya ke arah lubang gua mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.

Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki gua itu. Ternyata seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sambungan besi yang terkait pada kaitan baja yang ditanam di lantai dua. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu mendorong batu itu dari luar. Setelah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu yang patah. Akan tetapi begitu gua terbuka dan batu tergeser, berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracunpun jatuh pecah berhamburan. Semua itu digerakkan dengan per pegas yang bekerja setelah batu itu tergeser.

Setelah meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala kagum. "Sungguh hebat sekali kepandaian orang yang memasangkan alat rahasia ini." Akan tetapi Siang Hwa tidak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.

"Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu dan tersembunyi di dalam dinding gua sebelah kiri. Biar kuukur jarak itu!" Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa lalu melangkah sambil meng- hitung dari pintu gua. Setelah dua puluh satu langkah dia berhenti.

"Tentu di sini tempatnya," katanya sambil berjongkok den memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.

"Ihh... apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.

"Awas...!" Hui Song berseru dan cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang dan tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.

"Trakkk!" \

Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu. Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu dan menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang meluncur!

Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang sudah mereka bawa sebagai bekal tadi. Di bawah penerangan sinar lilin-lilin yang lumayang terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah peti besar hitam.

"Itulah harta karunnya!" Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak seperti anak kecil. Hui Song tersenyum dan pemuda inipun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha mereka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.

"Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan."

Hui Song lebih dulu mencoba dengan mencongkel-congkel peti itu menggunakan se-potong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang