"Aku...?" Hui Song tersenyum sehingga wajahnya yang gagah itu berseri. "Aku suka makan... kodok!"
"Hah? Katak? Katak buduk?" Sui Cin menggoda, berlagak kaget dan membelalakkan matanya. Sejenak Hui Song terpesona. Mata itu demikian lebar dan indahnya, mengingatkan dia kepada dara yang galak tempo hari.
"Ha-ha-ha, tentu saja bukan katak buduk yang beracun. Melainkan katak swike yang terdapat di sawah, atau katak hijau, atau kalau ada sih katak batu yang besar-besar dan lembut dagingnya itu!"
Sui Cin tersenyum mengejek. "Di hutan begini, mana ada yang menjual swike? Bahkan restoranpun harus yang besar kalau mau mencari makanan itu. Nih, adanya hanya nasi cap-jai, kalau engkau lapar boleh makan bersama aku. Boleh saja makan sambil membayangkan kodok batu, atau kalau tidak ada kodoknya, batunya juga boleh kan?"
"Ha-ha-ha-ha! Engkau sungguh lucu sekali!" Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin membuka bungkusan kertas dan ternyata di dalamnya terdapat bungkusan dengan daun lebar yang ketika dibuka terisi cap-jai dan nasi.
"Nah, silakan makan," kata Sui Cin.
"Tapi... tidak ada mangkok tidak ada sumpit, bagaimana harus makan?" Hui Song bertanya.
"Alaaaa, aksi dan genit amat sih! Tidak ada mangkok, kan ada daun ini? Tidak ada sumpit katamu? Sumpit hanya dua batang, sedangkan kita mempunyai lima batang sumpit alam, untuk apa kalau tidak dipergunakan?" Berkata demikian, langsung saja Sui Cin menggunakan lima sumpit alam alias lima jari tangan kanannya untuk menjumput nasi dan sayur lalu dimakannya dengan lahap.
Melihat ini, Hui Song terbelalak, memandang tangannya. Ingin dia mengatakan bahwa tangannya harus dicuci dulu, akan tetapi karena malu dikatakan aksi dan genit, diapun nekat dan menggunakan tangannya itu, tanpa dicuci atau dibersihkan, untuk menjumput makanan dengan kaku dan makan.
Mereka berdua makan dengan tangan begitu saja dengan makanannyapun berada di atas daun, seperti dua orang dusun yang amat bersahaja. Diam-diam Hui Song semakin kagum kepada pemuda remaja jembel ini yang agaknya sudah terbiasa hidup serba kekurangan dan dapat menyesuaikan diri dengan kesederhanaan yang begitu polos dan tidak dibuat-buat. Dan mengingat bahwa pemuda ini tadi menghamburkan uang sedemikian banyaknya seperti pasir!
Padahal, kalau dia mau mempergunakan uang sekarung itu untuk diri sendiri, tentu dia akan dapat makan enak di restoran, dengan mangkok perak dan sumpit gading sekalipun! Makin kagumlah dia. Dia sendiripun suka hidup ugal-ugalan atau tidak berbasa-basi, biasa berkelana dan suka akan kebebasan hidup sederhana, akan tetapi belum pernah dia makan menggunakan lima sumpit alamnya, maka makannyapun tidak kelihatan selahap dan seenak pemuda jembel itu. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan makanan itu berhenti di tenggorokannya.
"Ada apa?" Sui Cin bertanya sambil memandang wajah Hui Song yang tiba-tiba berobah itu. "Apakah ada tulang melintang di kerongkonganmu?"
Pertanyaan itu lucu dan mengundang kembali kegembiraan hati Hui Song akan tetapi tidak dapat mengusir dugaan yang menyelinap di dalam pikirannya. Bahkan pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat mulutnya mengucapkan isi hatinya. "Apakah... apakah makanan ini sisa makanan yang kau dapatkan dari rumah makan?"
Dugaan itu timbul ketika dia teringat bahwa pemuda remaja itu seorang pengemis dan bukankah sudah menjadi kebiasaan para pengemis untuk mengemis sisa makanan dari restoran-restoran? Teringat bahwa yang ditelannya adalah sisa makanan yang dikumpulkan dari restoran itulah yang membuat lehernya seperti tercekik tadi.
Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah Sui Cin menjadi merah. Dengan gerakan marah ia lalu membuang bungkusan makanan yang sedang mereka makan itu sehingga isinya tumpah berserakan di atas tanah. Hampir Sui Cin menangis, akan tetapi ditahannya karena ia teringat bahwa ia sedang menyamar sebagai seorang pemuda sehingga akan janggallah kalau menangis. Hui Song terkejut bukan main.
"Ada apakah? Mengapa... ah, maafkan aku, bukan maksudku untuk menghina." katanya gagap setelah dia sadar bahwa dia telah salah bicara tadi.
Sungguh watak yang aneh sekali, pikirnya. Seorang jembel muda membagi-bagi uang dan kini marah-marah ketika ditanyakan apakah makanannya didapat dari mengemis sisa makanan. Di mana bisa didapatkan seorang jembel seperti ini? Dan pakaiannya memang jembel, mukanya penuh debu.
"Aku bukan pengemis!" Sui Cin berkata dengan suara agak ketus.
Hui Song mengangguk-angguk. "Aku lupa bahwa engkau pernah membagi-bagi banyak uang. Tentu engkau seorang Sin-touw (Maling Sakti)..."
"Aku bukan maling!" Bentakan Sui Cin lebih keras lagi, mengejutkan hati Hui Song.
Keduanya diam dan termenung sambil memandang makanan yang berserakan di atas tanah. Tentu saja makanan itu kotor dan tidak dapat dimakan lagi, padahal perut mereka masih lapar. Jelas nampak kekecewaan membayang di wajah kedua orang muda itu.
Tiba-tiba, agaknya melihat masakan itu tidak dapat diraih padahal demikian dekatnya, terdengar bunyi perut berkeruyuk saling sahut. Keduanya mengangkat muka saling pandang dan seketika kebekuan di antara mereka mencair.
"Perutmu berkeruyuk!" Hui Song berkata menahan senyum geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Berdarah
RomanceLanjutan Siluman Gua Tengkorak Kisah Cinta dua pasang muda mudi yang penuh dengan konflik dan pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang di harapkan, siapakah pasangan muda mudi yang bertualangan cinta...