Jilid 119

2.1K 29 0
                                    

Sampai lama nenek itu tidak dapat menjawab, hanya terisak-isak dan kadang-kadang mengusap air mata yang bercucuran. Akhirnya dapat juga ia menguasai dirinya dan tangisnya terhenti, hanya tinggal isak yang kadang-kadang saja. Ia mengeringkan semua bekas air mata dengan sehelai saputangan, lalu memandang wajah gadis itu dengan mata yang merah bekas tangis.

"Maafkan aku, Sui Cin, baru sekarang aku memperoleh kesempatan menumpahkan semua rasa duka di hatiku di depan seseorang. Ini merupakan yang pertama dan terakhir, walaupun kalau sedang sendirian, terutama sekali sebelum tidur, aku lebih sering menangis daripada tidak."

"Akan tetapi, kenapa subo? Subo adalah seorang yang sakti, yang berwibawa dan berpengaruh, bahkan kini berhasil menjadi pimpinan para suku untuk melakukan gerakan perjuangan, akan tetapi kenapa subo berduka?"

"Karena aku takut!"

Jawaban ini makin mengherankan hati Sui Cin. "Takut? Subo...? Ah, bagaimana mungkin subo mengenal takut? Takut apakah?"

"Aku takut, Sui Cin. Sungguh, aku menggigil dan jantungku berdebar hampir copot kalau aku membayangkan. Aku takut... takut akan kematian..."

"Eh? Takut akan kematian?"

"Aku takut, Sui Cin. Bagaimana nanti kalau aku sudah mati? Usiaku sudah amat tua dan hari kematianku tentu tidak lama lagi. Aku tahu bahwa kematian tidak dapat dihindarkan, bahwa semua manusia hidup pada suatu ketika pasti mati. Akan tetapi aku takut, karena bagaimana mungkin aku tidak hidup lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kedudukanku? Ah, kalau saja aku dapat melihat apa yang terjadi setelah mati! Sudah banyak ilmu kupelajari, banyak tempat kujelajahi, namun aku belum berhasil memperoleh ilmu untuk menjenguk keadaan sesudah mati. Aku takut, Sui Cin... aku takut..."

Sui Cin duduk diam termenung, alis-nya berkerut. Ia sendiri belum pernah berpikir tentang kematian, bahkan sampai saat inipun ia tidak pernah perduli akan hal itu. Akan tetapi ia tidak pernah merasa takut walaupun ia sendiripun tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Akan tetapi ia tidak takut!

Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, melainkan oleh kebanyakan dari kita, tidak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, tinggi ataupun rendahnya kedudukan. Bahkan rasa takut ini lebih banyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan dipuja. Sesungguhnya, meng-apa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hilang kalau kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati? Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka. Bagaimana kita dapat takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan sesuatu yang kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi. Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi, karena rasa takut sesungguhnya merupakan akibat permainan pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum terjadi, pikiran yang mengada-ada. Rasa takut timbul karena kita tidak mau kehilangan hal-hal yang menyenangkan kita, hal-hal yang telah mengikat batin kita, seperti keluarga, kedudukan, kekayaan, nama besar dan sebagainya. Kita takut kehilangan semua ini kalau kita mati, kita takut akan merasa kesepian karena tidak adanya semua yang kita cinta itu, cinta mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin disenangkan.

Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu semua. Andaikata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itupun tidak akan pernah ada!

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang