Jilid 58

1.4K 25 0
                                    

Tentu saja di samping merasa kaget dan juga heran menyaksikan munculnya seorang gadis yang aneh pakaiannya dan lihai ilmu silatnya itu, Hui Song juga merasa girang sekali. Apalagi mendengar ucapan- ucapan gadis itu yang jenaka dan mempermainkan lawan, dia merasa gembira.

"Benar, nona manis. Hajar mereka! Lutung muka hitam itu kurang ajar sekali, hadiahi pukulan payungmu pada ubun-ubun kepalanya dan nenek topeng tikus itu lucuti saja topengnya dan tusuk telinganya sampai tembus!"

Sepasang mata Sui Cin berkilat dan iapun menahan senyum geli. Tapi dengan galak ia menghardik. "Kurang ajar, apa maksudmu menyebutku nona manis segala? Mau ceriwis dan kurang ajar engkau, ya?"

"Lhoh! Disebut nona manis kok marah, bagaimana sih? Apa lebih suka kalau kusebut engkau nona jelek dan galak?"

"Plak-plak... dukkkk!" 

Nyaris Hui Song terkena pukulan ketika dia bicara lalu kesempatan itu dipergunakan oleh Tho-tee-kwi untuk mendesak hebat.

"Rasakan kau hampir mampus!" Sui Cin mengejek. "Aku tidak sudi disebut nona manis, juga tidak mau disebut nona jelek dan galak!" 

Pada saat ia bicara tentu saja perhatiannya kurang tercurah kepada dua orang lawannya sehingga seperti juga Hui Song, ia terdesak oleh pecut baja dan pedang lawan. Akan tetapi karena ilmu silatnya memang hebat dan jauh lebih lihai dibandingkan dua orang pengeroyoknya, begitu memutar payungnya, ia mampu menggagalkan semua serangan itu dan balas mendesak lagi.

Hati Hui Song semakin gembira. Dia melirik dan melihat bahwa gadis itu masih muda sekali, baru sekitar lima belas atau enam belas tahun usianya, pakaiannya seperti gelandangan akan tetapi bersih, wajahnya manis dan gerakannya lincah, mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya bengal. Seorang gadis yang panas dan hidup, cocok dengan dia, pikirnya.

"Wah, lalu menyebut apa? Baiklah, kusebut nona yang setengah manis setengah galak..."

"Wuuuuttt...!" 

Dia terpaksa melempar tubuh ke belakang dan tidak berani banyak cakap lagi karena kakek raksasa itu telah mendesaknya lagi dan tentu akan selalu menggunakan kesempatan selagi dia bicara untuk merobohkannya.

Setelah kini kedua orang muda itu tidak lagi bicara, mereka dapat menghadapi lawan dengan baik dan tiga orang datuk sesat itupun maklum bahwa keadaan tidak menguntungkan bagi mereka. Selain itu, kini mereka sudah dapat mengenal dengan samar-samar ilmu silat mereka dan diam- diam mereka bertiga merasa gentar. Mereka mengenal gerakan-gerakan ilmu silat tinggi dari Cin-ling-pai!

"Kita pergi!" tiba-tiba raksasa itu berseru dan dia mengeluarkan gerengan hebat sambil menghentakkan kakinya. 

Sui Cin sendiri sampai kaget setengah mati dan tergetar kaki dan hatinya, maka iapun meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk meloncat jauh dan melarikan diri bersama raksasa itu yang kini agaknya menyimpan kekuatannya sehingga ketika melarikan diri tidak terdengar derap kakinya yang biasanya berat itu.

Hui Song tidak mengejar lawannya. Selain tidak mempunyai permusuhan pribadi, juga dia tahu betapa besar bahayanya mengejar seorang datuk sesat seperti Tho-tee-kwi itu yang tentu untuk menyelamatkan diri tidak segan-segan mempergunakan cara-cara yang keji dan curang. Sui Cin juga tidak mengejar karena ia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. 

Ia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi iapun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan ia kepada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ah, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!

Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Diapun tadi melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan banyak mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui- bo!

Diapun menduga-duga. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-ling- pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali di antara murid-murid Cin-ling-pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-ling-pai telah hidup terpisah dari Cin-ling-pai dan mereka tentu telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada murid-murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang dapat memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, akan tetapi melihat kehebatan gadis remaja ini, jelas bahwa ia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini?

Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan karena keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling pandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang. 

Pandang mata pemuda itu penuh kagum dan agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentarpun juga. 

Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata, maka iapun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia sudah digembleng oleh ayah bundanya untuk mempertajam panca inderanya, terutama sekali mata. Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seperti itu, pandang matanya menjadi tajam. Ia mampu mengikuti gerakan senjata lawan, dan ia mampu bertahan tidak berkedip sampai berjam-jam!

Akan tetapi, pandang mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tidak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi, apa pula setelah ia merasa darahnya naik dan api kemarahannya berkobar. 

Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak, "Kau melihat apa? Matamu melotot seperti mata iblis!"

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang