Jilid 69

1.3K 29 0
                                    

Sui Cin melemparkan empat ekor katak yang sudah mati itu ke atas tanah di depan Hui Song sambil tertawa gembira. Hui Song juga tertawa.

"Wah, engkau pintar sekali menangkap katak-katak raksasa ini," katanya sejujurnya.

"Engkau tidak tahu katak apa ini? Bukan katak raksasa. Inilah katak batu yang tulen! Terpaksa kupecahkan kepalanya dengan batu karena kodok batu ini liar dan ganas sekali!"

"Tapi yang biasa kubeli di restoran dagingnya lunak."

"Memang dagingnya lunak, akan tetapi kodok-kodok ini liar dan ganas. Hayo bantu aku membersihkannya. Potong kepalanya, ujung keempat kakinya. Akan tetapi jangan buang kulitnya. Kodok batu kulitnya tipis dan tidak ulet, enak dimakan bersama dagingnya. Bahkan kalau kulitnya dilepas, dagingnya yang terlalu lunak itu akan hancur kalau dimasak. Nah, begitu. Mari kita cuci di sumber air sana. Aku melihatnya tadi ketika kembali ke sini."

Sui Cin membawa buntalannya dan dibantu oleh Hui Song, mereka berdua menuju ke sumber air untuk mencuci empat ekor katak besar itu. Mereka melakukan kerjaan ini sambil bercakap-cakap gembira, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat baik sejak lama, padahal mereka bahkan belum saling berkenalan!

"Kenapa kodok batu yang dagingnya lunak kau namakan kodok liar dan ganas?" Hui Song bertanya.

"Kodok batu termasuk kodok yang cerdik dan ganas. Engkau tahu apa yang dimakannya?"

"Tentu nyamuk, serangga lain atau lumut dan ujung daun..."

"Salah sama sekali! Engkau melihat burung-burung yang beterbangan di atas itu? Nah, itulah makanannya!"

"Tak mungkin! Mana bisa kodok yang berada di darat makan burung yang terbang di atas?"

"Kodok batu adalah pengail yang amat pandai dan sabar. Dia memancing burung itu untuk turun dan menyambar umpannya."

"Apa umpannya dan bagaimana cara memancing burung?"

"Umpannya dirinya sendiri. Seekor kodok batu yang kelaparan dan ingin makan burung, sengaja rebah terlentang di atas batu, kalau perlu sampai berjam-jam, tanpa bergerak sehingga siapapun akan menyangka dia sudah mati. Bangkai kodok itu menarik perhatian burung yang terbang turun untuk menyantapnya, akan tetapi begitu burung itu mematuk perutnya, seperti ikan menyambar umpan di mata kail, kodok batu itu akan menyergap dan menangkapnya dengan empat kaki dan menggigitnya. Nah, bukankah kodok batu itu liar den ganas?"

Hui Song mendengarkan dengan penuh kagum. Ternyata pemuda jembel ini banyak sekali pengetahuannya. Ketika membersihkan tubuh katak itu, dia mendapat kenyataan bahwa kulit yang lorek-lorek itu memang tipis dan halus.

"Heran, kodok yang liar dan ganas pemakan burung tapi kulitnya demikian tipis," katanya.

"Ya, dan kulitnya enak untuk dimakan, maka kodok batu selalu dimasak berikut kulitnya. Kulit katak hijau, biarpun lebih kecil dan pemakan nyamuk dan serangga, lebih ulet dan karena itu, kulit katak hijau tidak ikut dimasak. Mudah saja mengupas kulit katak. Kalau kepalanya sudah dipotong, sekali pencet saja tubuhnya akan keluar dari kulitnya. Tapi bodoh kalau membuang kulit katak hijau, karena kalau digoreng, rasanya enak sekali, tidak kalah oleh goreng kulit atau usus ayam!"

"Ha-ha-ha, sobat muda, agaknya engkau juga ahli tentang masakan!"

"Ahli makan sudah jelas, kalau ahli masak... hemm, harus dibuktikan lebih dulu. Sayang kita tidak mempunyai alat untuk masak, tidak mempunyai bumbu kecuali garam yang selalu kubawa dalam buntalan pakaian. Daging kodok batu ini kalau dimasak dengan tao-co, wah, gurih sekali. Kalau dimasak dengan jahe, hemm, sedap! Dan kalau dimasak dengan tape beras atau sedikit arak merah, lezat sekali."

Hui Song makin kagum den mulutnya menjadi basah karena bangkit seleranya oleh keterangan tentang masakan-masakan sedap itu. "Dan bagaimana kalau digoreng?"

"Kurang tepat. Daging kodok batu terlalu lunak kalau digoreng bisa hancur. Untuk gorengan, lebih enak daging kodok hijau biasa. Dan daging katak ini terpaksa kita panggang saja, dengan diberi sedikit garam. Habis tidak mempunyai alat masak dan bumbunya sih."

"Panggang daging kodok batu dimakan dengan roti tawar... hemm, enak sekali!" kata Hui Song.

"Memang! Akan tetapi daging ini takkan matang kalau kita hanya omong- omong saja. Hayo cepat kumpulkan kayu bakar dan bikin api untuk panggang daging kodok ini!"

Tak lama kemudian, tercium bau panggang yang gurih dan segera mereka makan lagi, roti tawar dengan panggang kodok. Ternyata memang lezat dan mereka makan lebih lahap dan gembira daripada tadi.

"Hemm, belum pernah aku makan selezat ini!" Hui Song mengaku sejujurnya sambil mengelus perutnya setelah mereka selesai makan dan minum air tawar yang segar. "Bukan main sedapnya! Sobat, engkau sungguh luar biasa sekali. Pandai engkau membuat masakan, seperti seorang wanita saja engkau!"

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang