Jilid 34

1.7K 27 0
                                    

"Si raksasa rakus sudah datang," kata Lo-bo.

"Huh, memuakkan. Ke sini membawa korbannya, menjijikkan!" sambung Lo- mo.

Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara duk-duk langkah kaki yang amat berat. Muncullah dari balik gua seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng. Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tak terpelihara dan pakaian seperti jembel, sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. 

Akan tetapi sungguh amat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias kedua pergelangan tangannya. Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya kalau diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang! Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar dan tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya den dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Dia makan daging anak-anak mentah-mentah! 

Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Kalau kakek dan nenek tadi datang seperti bayang-bayang setan, dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapat dibayangkan betapa besar tenaganya. Diam-diam kakek den nenek itupun kagum dan harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang demikian hebatnya.

Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini? Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti. Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia amat kejam dan amat ditakuti, maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya. 

Dan seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi inipun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia peranakan Nepal dan di waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Karena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu- ilmu sesat dan ilmu hitam dan akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui.

Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke balik jurang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.

"Heh-heh, Lo-bo, apanya yang memuakkan dan menjijikkan?" tanyanya, suaranya besar parau.

"Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?" Kui-kok Lo-bo mengejek. "Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!" tambahnya.

"Ha-ha, Lo-mo, apakah engkau tidak bisa mengendalikan mulut binimu? Lo-bo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?" Raksasa itu tertawa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.

"Apa? Aku pemakan bangkai? Jaga mulutmu!" bentak Lo-bo marah.

"Segala macam daging yang kau makan itu apakah bukan bangkai? Bangkai binatang yang kaumakan, dan aku makan bangkai orang, heh-heh, aku lebih unggul!"

"Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?" Lo-bo berteriak.

"Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai di mana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walaupun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lo-bo."

Kui-kok Lo-bo menoleh kepada suaminya. Bagaimanapun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan kepada suaminya. Lo-mo mengangguk dan berkata. "Karena yang lain belum datang, boleh saja engkau main-main melawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita." 

Kalau tidak melihat wajahnya yang seperti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lo-mo adalah seorang kakek yang halus budi bahasanya.

Setelah mendapat persetujuan suami-nya, dengan gerakan yang amat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di depan raksasa itu. "Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!" katanya dan secepat kilat nenek itu sudah menggerakkan tangannya ke depan. Terdengar suara mencicit seperti suara kelelawar ketika jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.

"Hehh!" Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyambar ke arah perutnya. 

Itulah semacam ilmu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Maka diapun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biarpun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata diapun dapat bergerak sigap. Dia meloncat ke belakang dan lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk menangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia membarengi dengan uluran lengan kiri menghantam dari samping ke arah kepala si nenek. Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibar-kibar. Namun, gesit sekali gerakan Lo-bo yang sudah dapat menghindar pula.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang