Sui Cin sedang mencuci kedua tangannya maka kepalanya menunduk sehingga Hui Song tidak melihat betapa muka yang kotor berdebu itu berobah merah sekali. "Biarpun lezat, daging kodok batu ini cukup amis. Kalau diberi air jeruk di waktu makan amisnya akan berkurang. Maka tangan harus dicuci bersih betul, baru hilang bau amisnya. Aku memang mempelajari ilmu memasak."
"Ah, pantas kalau begitu? Siapa gurumu memasak?"
"Guruku...? Ia... enciku sendiri."
Tiba-tiba Hui Song meloncat bangkit dan memandang pemuda jembel itu dengan sepasang mata tajam penuh selidik akan tetapi mulutnya tersenyum. "Ha! Aku tahu siapa encimu!"
"Eh?" Pemuda jembel itu memandang heran. "Benarkah? Kalau tahu, siapa nama enciku dan dari mana ia datang?"
"Wah, itu aku belum tahu. Akan tetapi, maksudku, aku sudah mengenalnya, sudah pernah bertemu dengannya. Malah ia telah menyelamatkan aku, membantuku ketika aku dikeroyok oleh tiga orang dari Cap-sha-kui. Dan tadi di pasar engkaupun membantuku, jadi kalian adik dan enci selalu membantuku. Sungguh aku patut untuk berterima kasih kepada kalian. Adik yang baik, ketika aku bertemu dengan encimu, ia tidak sempat memperkenalkan diri. Maukah engkau memberi tahu, siapa nama encimu dan siapa pula orang tua atau gurunya? Aku melihat betapa ilmu silatmu dan ilmu silat encimu sesumber dengan ilmu silatku."
Sui Cin diam-diam merasa geli dan wataknya yang bengal membuat ia ingin mempermainkan pemuda ini. "Mana aku tahu bahwa engkau benar- benar pernah bertemu dengan enciku? Kalau benar pernah bertemu, hayo ceritakan bagaimana wajahnya dan apa keistimewaannya?"
"Ah, mudah sekali itu. Mana bisa aku melupakannya?" kata Hui Song sambil menatap tajam wajah pemuda jembel itu. "Rambutnya hitam sekali, gemuk dan panjang, dengan anak rambut halus menutupi bagian atas dahinya yang halus. Wajahnya bulat telur dengan dagu agak meruncing, potongan wajahnya manis, sepasang matanya lebar dan jeli, kedua ujungnya agak naik dan seperti ditambah guratan hitam, bulu matanya lentik panjang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah basah, bentuknya manis sekali, kalau tertawa ada lesung pipit di pipi kirinya, kulit mukanya putih halus seperti salju..."
"Eh, kau ini menggambarkan wajah enciku akan tetapi kenapa matamu terbelalak memandang aku?" pemuda jembel itu menegur, merasa sungkan dan tidak enak sekali melihat sepasang mata itu tanpa berkedip terus-menerus memandanginya.
"Habis, wajah encimu itu seperti pinang dibelah dua dengan wajahmu!" kata Hui Song sambil tersenyum lebar.
"Teruskan, teruskan...!"
"Pendeknya, encimu itu seorang dara remaja yang belum pernah kulihat keduanya di dunia ini. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya aneh-aneh dan nyentrik, selalu membawa payung butut yang dapat menjadi senjata yang ampuh, naik seekor keledai... eh, kuda yang mirip keledai karena kecil dan pendeknya..."
"Cukup, engkau memang sudah mengenalnya." kata pemuda jembel itu, menyembunyikan perasaan girang dan juga malu di hatinya. Bagaimana ia tidak akan merasa girang akan tetapi juga jengah mendengar orang memuji-muji kecantikannya di depannya secara begitu terbuka sehingga kecantikannya diperinci?
"Memang aku sudah mengenalnya, bahkan kami sudah berkelahi bahu- membahu melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui! Sayang aku belum mengenal namanya. Maka, sobat muda yang baik, kau beritahukanlah aku siapa nama encimu dan bagaimana pula keadaan keluargamu."
"Nanti dulu, sobat. Engkau sendiri belum memperkenalkan diri. Terus terang saja, aku dan enciku tidak biasa memperkenalkan diri kepada orang lain. Maka, sebaiknya engkau bercerita tentang dirimu sebelum aku memperkenalkan enciku."
Hui Song adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, bahkan suka sekali menggoda orang, wataknya agak berandalan. Akan tetapi diapun cerdik dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan putera atau murid orang pandai yang masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, maka diapun tidak segan-segan untuk bersikap hormat dan mengalah, walaupun dia merasa jauh lebih tua daripada jembel muda ini.
"Baiklah, sobat muda. Aku bernama Cia Hui Song. Ayahku adalah ketua Cin-ling-pai dan aku adalah putera tunggal. Tadinya aku mewakili Cin- ling-pai untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang diadakan di Puncak Bukit Perahu. Pertemuan itu gagal dan tidak jadi, maka aku hendak kembali ke Cin-ling-pai. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan aku dikeroyok, nyaris celaka kalau tidak muncul encimu yang lihai dan yang membantuku sehingga kami berhasil mengusir tiga orang iblis itu. Nah, itulah keadaanku."
Sui Cin mengangguk-angguk. "Aih, kiranya putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihainya. Siapa tidak mengenal pendekar sakti Cia Kong Liang yang berilmu tinggi, kedudukannya setinggi langit menjadi ketua perkumpulan besar yang amat terkenal di seluruh dunia, yaitu Cin-ling-pai? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku untuk dapat mengenalmu, Cia-taihiap!"
Sui Cin yang mendengar dari ayahnya tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai, lalu berdiri den memberi hormat, sengaja menyebut taihiap kepada pemuda itu untuk menguji apakah pemuda itupun memiliki kecongkakan seperti ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Berdarah
RomanceLanjutan Siluman Gua Tengkorak Kisah Cinta dua pasang muda mudi yang penuh dengan konflik dan pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang di harapkan, siapakah pasangan muda mudi yang bertualangan cinta...