"Lihatlah," ketua Pek-liong-pang itu melanjutkan, "bukankah setiap peristiwa yang menimpa diri kita hanya merupakan pemetikan buah saja dari pohon yang kita tanam sendiri, sedangkan setiap perbuatan kita seperti menanam bibit yang kelak menjadi pohon dan berbuah yang harus kita petik sendiri pula? Karena itu, kita tidak perlu penasaran memetik buah pohon tanaman sendiri, dan kalau menanam bibit, tanamlah yang baik! Kalau aku menerima malapetaka ini sebagai pemetikan buah dari pohon lama tanaman ayah, kemudian aku tidak menanam bibit baru, berarti aku telah mamatahkan belenggu mata rantai karma yang akan mengikat aku dan keluargaku."
"Akan tetapi suhu, dapatkah manusia hidup bebas dari karma?" tanya seorang murid.
"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu mengikatkan diri kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus diketahui bahwa sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus atau bersambungnya karmapun berada di tangan kita sendiri. Dendam-mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai karma yang amat kuat. Kalau setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, perbuatan itu akan habis sampai di situ saja, bukan merupakan akibat maupun sebab, tanpa dipengaruhi karma. Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."
Malam sudah larut. Tengah malam baru lewat dan para murid mengganti lilin yang tinggal sedikit dengan lilin-lilin baru. Han Tiong sendiri menyalakan hio (dupa lidi) harum sehingga ruangan itu dipenuhi asap dupa harum. Keadaan menjadi amat hening ketika mereka tidak bicara lagi, keheningan yang mencekam, penuh duka dan keseraman.
Tiba-tiba terjadi hal aneh yang membuat mereka semua merasa terkejut sekali. Ada angin bertiup dari arah kiri ruangan sehingga api lilin- lilin besar di atas meja sembahyang bergoyang seperti hendak padam, menimbulkan banyak bayangan hitam menari-nari di atas dinding putih. Juga asap dupa beterbangan ke arah kanan. Ini bukan angin biasa, pikir mereka. Sebelum mereka sempat bertanya-tanya, tiba-tiba saja ada angin bertiup dari arah yang berlawanan. Kini api lilin tenang kembali, seperti dihimpit dua tenaga atau tertiup dari dua arah, membuat api tergetar-getar. Asap dupa yang tertiup dari dua arah menjadi berputaran seperti anak-anak domba kebingungan diancam dua ekor harimau dari dua jurusan.
Han Tiong tahu akan hal ini, akan tetapi dia bersikap tenang, bahkan lalu menggeser duduknya di belakang peti jenazah isterinya, tepat di belakang menghadap ke meja sembahyang. Pendekar ini dapat menduga bahwa tentu akan muncul orang-orang pandai yang belum diketahuinya siapa dan apa maksud kunjungan mereka di saat seperti itu. Dia tidak mengharapkan tamu luar.
Para muridnya sudah dipesan agar mengundang murid-murid Pek-liong-pang saja dan kalau mungkin mencari Cia Sun puteranya, dan agar peristiwa itu tidak dikabarkan kepada orang luar. Dia tidak ingin malapetaka yang menimpanya itu diketahui dunia kang- ouw. Dan rahasia ini mungkin saja dipegang rapat mengingat bahwa Lembah Naga adalah sebuah tempat terpencil yang jarang dikunjungi orang luar. Akan tetapi, mengapa kini muncul orang-orang pandai?
Para murid Pek-liong-pang tidak ada yang mengira bahwa peristiwa angin ganjil itu dilakukan orang pandai. Mereka saling pandang dan merasa ngeri, menyangka bahwa hal itu tentu dilakukan oleh mahluk-mahluk halus, atau mungkin oleh arwah-arwah yang mati penasaran itu. Mereka merasa ngeri dan bulu tengkuk mereka meremang.
Tiba-tiba saja ada suara terkekeh. Para murid Pek-liong-pang tersentak kaget dan memandang terbelalak kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul di depan meja sembahyang. Kakek itu usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam kasar, matanya bundar besar. Seorang kakek dengan wajah angker, mengingatkan orang akan tokoh jaman Sam-kok yang bernama Thio Hwi! Mukanya penuh cambang bauk yang terpelihara rapi sehingga dia nampak bersih, dan pakaiannya seperti jubah pendeta, akan tetapi cukup mewah dan mahal. Sepatunya baru mengkilap.
"Ha-ha-ha...! Menyembunyikan rasa takut di balik filsafat dan kebajikan, itu namanya pengecut. Si jembel membela si pengecut, itu namanya berhati lemah. Aku ikut berduka cita atas malapetaka yang menimpa keluarga Cia!" Berkata demikian, kakek ini lalu menjura ke arah meja sembahyang.
Han Tiong sudah cepat bangkit berdiri. Selama beberapa hari ini dia telah minum obat dan merawat diri sehingga luka tidak parah yang dideritanya dalam perkelahian melawan Hek-hiat Lo-mo dan Lo-bo itu sudah sembuh. Kini dia melihat munculnya orang aneh dan mendengar kata-kata tadi, dapat menduga bahwa kekek ini muncul bukan sebagai sahabat. Ketika kakek itu menjura ke arah-nya, dia terkejut dan cepat mengerahkan sin-kang dan balas menjura untuk menangkis serangan jarak jauh itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kehebatan tenaga sakti yang menyambar ke-padanya. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi tetap saja tidak mampu menahan dorongan kuat yang membuatnya merasa dadanya terhimpit sesak!
Selagi Han Tiong hendak menghentikan adu tenaga ini dengan jalan menghindar dengan loncatan ke samping, tiba-tiba terdengar suara terkekeh lain lagi di sebelah belakangnya. Para murid Pek-liong-pang juga melihat seorang kakek lain yang tahu-tahu sudah berada di belakang suhu mereka. Kakek inipun sudah tua, sudah enam puluh tahun lebih usianya. Tubuhnya tinggi kurus, tangan kirinya memegang sebuah tongkat bambu dan di punggungnya tergantung sebuah ciu-ouw (guci arak).
"Heh-heh-heh...! Dasar orang hutan liar! Mana tahu akan filstafat yang indah? Tahunya hanya mengandalkan kekuatan memaksakan kehendaknya. Keluarga Cia yang gagah perkasa dan budiman, mana bisa dibandingkan dengan orang gunung yang buta huruf?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Berdarah
عاطفيةLanjutan Siluman Gua Tengkorak Kisah Cinta dua pasang muda mudi yang penuh dengan konflik dan pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang di harapkan, siapakah pasangan muda mudi yang bertualangan cinta...