Jilid 5

2.7K 39 0
                                    

"Kejar...!" teriak si mata sipit dan mereka berlima meninggalkan si gendut yang masih mengeluh dan meratapi giginya itu, melakukan pengejaran. 

Namun, nona dan kudanya telah lenyap. Bahkan ketika mereka melapor dan pasukan penjaga ikut mencari, mereka tidak dapat menemukan jejak nona dengan kudanya itu, seolah-olah kudanya telah lenyap ditelan bumi. Tentu saja peristiwa ini segera tersiar dan menjadi buah percakapan para penduduk Ceng-tao.

Berita akan munculnya seorang dara aneh dengan kuda aneh, menyanyikan lagu aneh pula dan setelah dengan mudah-nya merobohkan enam orang penjaga lalu lenyap begitu saja, semua orang lalu menghubungkannya dengan kepercayaan mereka akan kesaktian Dewi Laut yang mereka percaya. 

Mana mungkin seorang gadis muda selain merobohkan enam orang penjaga, memiliki kuda sakti juga pandai menghilang begitu saja seperti terbang ke langit atau amblas ke bumi kalau ia bukan Dewi Laut? Di dalam kota itu terdapat sebuah kuil yaitu kuil Dewi Laut. 

Menurut dongeng turun-temurun di antara penduduk Ceng-tao yang di jaman dahulunya adalah nelayan, Dewi Laut dikenal sebagai dewi yang selain menguasai lautan, juga menjadi pelindung kaum nelayan. Oleh karena itu, maka patung dewi itu di dalam kuilnya dipuja-puja dan disembahyangi, bahkan dirayakan setiap tahun pada hari ulang tahunnya. 

Bahkan ada dongeng di antara para penduduk bahwa Dewi Laut itu sewaktu-waktu "turun" ke bumi dan melakukan bermacam hal yang menggemparkan. Akan tetapi, semua hal yang dilakukannya itu pada umumnya menentang kejahatan dan menghukum pelakunya. Betapapun juga, ada kalanya Sang Dewi muncul melakukan hal-hal yang ganas. Hal ini kabarnya terjadi kalau penduduk lupa memberi sesajen atau korban sehingga sang dewi menjadi marah dan menghukum penduduk dengan perbuatan-perbuatan yang ganas.

Kalau sekali waktu terdengar berita bahwa amukan dewi itu adalah karena penduduk lupa memberi sesajen, maka dapat dipastikan bahwa berita itu bersumber dari kuil itu sendiri. Tentu saja para nikouw yang menjaga kuil itulah yang menjadi sumber berita. Hal ini amat penting bagi mereka karena berita itu dapat memperkuat kembali kepercayaan dan rasa takut penduduk terhadap Dewi Laut. Kalau sudah begitu maka berbondonglah orang-orang datang bersembah-yang dan memberi sedekah! Dan hal ini perlu bagi kehidupan para nikouw, bagi terpenuhinya semua kebutuhan dan biaya menjaga dan merawat kuil.

Mungkin sekali yang dimaksudkan dengan sebutan Dewi Laut adalah nama lain dari Kwan Im Posat. Begitu banyaknya dongeng tentang Dewi Kwan Im Posat sebagai Dewi Belas Kasih ini sehingga tidak mengherankan kalau penduduk Ceng-tao yang dahulunya adalah kaum nelayan dan laut merupakan daerah penting bagi mereka lalu menciptakan sebutan Dewi Laut bagi Kwan Im Posat. Setelah turun-temurun, maka hanya nama Dewi Laut itu saja yang dikenal sebagai dewi pujaan mereka.

Ketua nikouw yang bertugas di kuil itu adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun berjuluk Hat Cu Nikouw. Ia sengaja memakai julukan Hat Cu yang berarti Mustika Laut, agar sesuai dengan tempat itu dan sesuai pula dengan dewi yang dipuja. Hat Cu Nikouw bukanlah nikouw biasa yang lemah. 

Tidak, ia adalah seorang ahli silat yang memiliki tingkat cukup tinggi sehingga namanya dikenal dan ditakuti orang terutama kaum penjahat yang tidak berani mengganggu kuil itu, bahkan tidak berani beroperasi di daerah yang berdekatan dengan kuil Dewi Laut. Hat Cu Nikouw ini mempunyai seorang suheng, juga kini menjadi ketua kuil yang berada di luar kota. Suhengnya itu berjuluk Thian Kong Hwesio, berusia enam puluh tahun lebih dan memiliki ilmu silat yang lebih Lihai daripada sumoinya.

Ketika penduduk ramai-ramai membicarakan tentang munculnya seorang gadis aneh yang melakukan kegemparan dan penduduk mulai menghubungkan gadis itu dengan Dewi Laut, Hat Cu Nikouw juga mendengarnya. Nikouw tua ini tersenyum saja. Di dalam hatinya ia maklum bahwa semua berita tentang Dewi Laut itu hanyalah bohong belaka, walaupun ia sendiri adalah pemuja Dewi Laut. Dan kini ia menduga bahwa tentu gadis yang dihebohkan itu sama sekali bukan penjelmaan Dewi Laut, melainkan seorang gadis kang-ouw. Iapun tahu bagaimana tingkah para petugas jaga di pintu gerbang itu dan dapat menduga bahwa tentu gadis kang-ouw itu diganggu sehingga mengamuk dan menghajar mereka. Akan tetapi, ia hanya tersenyum dan tidak mau membantah kabar itu. Biarlah, pikirnya, biar penduduk makin yakin akan kesaktian Sian-li.

Pada keesokan harinya, berita tentang Dewi Laut itu menjadi semakin besar dan menggemparkan. Apalagi ketika diterima kabar oleh penduduk dari para nikouw penjaga kuil itu bahwa patung Dewi Laut semalam telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Para nikouw yang mengurus kuil itupun tidak tahu kapan dan ke mana hilangnya patung itu, seolah-olah menghilang begitu saja dari tempat pemujaannya.

Apalagi penduduk, bahkan Hai Cu Nikouw sendiri terkejut dan merasa heran ketika menerima laporan para muridnya bahwa patung Dewi Laut telah lenyap! Siapa orangnya berani main-main dan berani mati mencuri patung keramat itu? Agaknya tidak mungkin ada pencuri berani melakukan hal itu. 

Akan tetapi... kenyataannya, patung itu lenyap begitu saja. Benarkah bahwa Dewi Laut telah menjelma menjadi gadis aneh? Ah, tak mungkin!

Nikouw tua itu segera menghubungi suhengnya dan merekapun berunding. Hilangnya patung Dewi Laut sungguh merupakan hal yang menimbulkan penasaran dan marah. Terang bahwa penjahat yang mencurinya tidak memandang mata kepada mereka, atau setidaknya kepada Hai Cu Nikouw dan pencurian patung itu dapat dianggap sebagai suatu tantangan.

"Tidak mungkin patung itu dicuri karena nilainya. Tidak ada emas permata yang menghias patung itu. Maka, jelaslah bahwa pencurinya melakukan hal itu untuk menghinaku, untuk menantangku!" demikian antara lain Hai Cu Nikouw menyatakan rasa penasaran hatinya di depan suhengnya. Ia adalah seorang wanita yang biarpun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih nampak segar dan sehat, juga wajahnya masih membayangkan raut yang cantik.

Rambutnya habis dicukur licin, wajahnya belum banyak dimakan kerut, sepasang matanya masih tajam dan ada keangkuhan membayang pada dagunya yang meruncing, agaknya keangkuhan yang timbul karena yakin akan kemampuan dirinya. Tubuhnya kecil, agak tinggi dan gerak-geriknya masih cekatan. Sepasang pedang tergantung di punggungnya dan baru mulai hari itulah ia selalu membawa sepasang pedang itu, karena merasa bahwa ia ditantang orang.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang