Jilid 43

1.5K 28 0
                                    

Akan tetapi, pada malam hari itu, perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim di punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul. 

Dan kakek berjenggot ini yang memberitahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu. Mendengar berita mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai lalu menyebar murid- murid mereka untuk menghadang dan memberi tahu para pendekar yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha ini, maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka mendapatkan tempat kosong!

Siapakah kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu? Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari atas tebing. 

Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, di antara para pendekar dia disebut Shantung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shantung). Dia orang termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung), dua orang suhengnya telah meninggal dunia dan dia sendiri sudah berusia delapan puluh tahun. Setelah tinggal seorang diri, dia suka berkelana dan sudah bertahun-tahun tidak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan menanggalkan pedangnya dan menggantikannya dengan yang-kim karena sejak dahulu, Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan.

Akan tetapi, ketika melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shantung Lo-kiam terpaksa keluar juga, dan biarpun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia dapat mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu. Diapun mendengar akan undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya.

Demikianlah, pertemuan para pendekar dibatalkan demi keamanan, akan tetapi, para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui sudah bergerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, kini kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!

Seperti juga para pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika berada di lereng bawah puncak, bertemu pula malam itu dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pendekar wanita ini tetap tenang saja. Ia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena ia tidak tahu siapa orang itu dan entah kawan atau lawan, maka ia bersikap tenang saja dan diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.

"Nona, apakah nona seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon. Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua, berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba putih. Pertanyaannya diajukan dengan suara sopan akan tetapi sikapnya ragu-ragu karena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar.

Di lain pihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya. Ia harus berlaku hati-hati, karena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk pihak lawan.

"Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" ia balas bertanya, pandangan matanya penuh selidik dan penuh tantangan.

Laki-laki itu menjura. "Kalau nona termasuk seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya adalah anggauta Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."

"Berita apakah itu?" Sui Cin tertarik.

"Maaf, harap nona sudi memperkenalkan diri lebih dulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas."

Sui Cin tersenyum. Dia dapat memaklumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Ia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai merupakan perkumpulan yang mempelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek- ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-lim-pai. 

"Akupun boleh meragukan dirimu!" katanya dan tiba-tiba saja gadis ini sudah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!

Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka diapun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu silatnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini. 

Akan tetapi, tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, hanya memancing saja. Kalau ia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan lawannya. Setelah ia melihat gerakan laki-laki itu yang membentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan kelima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru ia percaya dan iapun melompat ke belakang.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang