Jilid 81

1.4K 24 0
                                    

Kakek dan nenek itu kembali saling pandang seperti tidak percaya akan apa yang mereka dengar.

"Kau... kau tidak akan membunuh kami...?" Nenek itu bertanya, suaranya mengandung isak tertahan karena ia ter-lepas dari ketegangan hati seorang yang menghadapi maut yang nampaknya tak terelakkan lagi mengancam dirinya tadi.

Han Tiong mengangguk dan menarik napas panjang. "Benar, kalian boleh pergi..."

Kakek dan nenek itu merasa terharu sekali. Baru saja mereka membunuh isteri dan lima belas orang murid pendekar ini, akan tetapi pendekar ini mengampuni mereka! Selama hidup mereka belum pernah mendengar yang seganjil ini, apalagi mengalaminya. Jantung mereka seperti ditusuk-tusuk rasanya dan sekarangpun mereka mulai merasa menyesal sekali. Peristiwa pembunuhan ini akan menghantui mereka selama hidup dengan penyesalan. Kalau pendekar ini merasa den-dam dan hendak membalas atas pembunuhan-pembunuhan itu, tentu tidak akan terdapat penyesalan di hati mereka. Akan tetapi kini sikap pendekar itu akan membuat mereka selama hidup menyesal sekali telah melakukan pembunuhan di hari ini. Mereka lebih suka kalau dibunuh saja.

Keduanya menjura dengan muka pucat dan mata basah. "Cia-taihiap, kami berhadapan dengan seorang mulia, kami takluk dan merasa menyesal sekali..." kata kakek itu.

"Pergilah kalian... pergilah...!" kata Han Tiong, lalu dia menghampiri mayat isterinya, dipondongnya jenazah itu dan dibawanya pulang. Para muridnya juga mengangkat mayat saudara-saudara mereka mengikuti suhu mereka dari belakang.

Kakek dan nenek itu mengikuti iring-iringan jenazah yang amat menyedihkan itu dengan muka pucat dan pandang mata sayu, kemudian tertatih-tatih merekapun pergi meninggalkan Lembah Naga.

Setelah belasan jenazah itu dimasukkan peti dan para murid Pek-liong-pang berkumpul dan berkabung, suasana menjadi amat menyedihkan. Sisa para murid cepat memberi kabar kepada saudara-saudara seperguruan mereka dan setiap kali ada murid Pek-liong-pang datang, meledaklah ratap tangis di antara mereka.

Hampir tiga puluh orang murid Pek-liong-pang berkumpul di malam terakhir itu. Besok pagi, enam belas peti mati itu akan dikebumikan. Dalam kesempatan ini, para murid kepala menyatakan rasa penasaran hati mereka terhadap sikap suhu mereka kepada kakek dan nenek yang memusuhi Pek-liong-pang dan yang menyebar maut itu.

"Suhu, teecu sekalian tetap merasa penasaran mengapa suhu membiarkan kakek dan nenek iblis itu pergi. Sepatutnya mereka dibunuh untuk membalaskan kematian subo dan enam belas murid Pek-liong-pang. Karena suhu mengampuni dan membebaskan dua iblis itu, apakah arwah subo dan sute tidak penasaran?" demikian seorang murid tua yang sudah lulus dan baru saja tiba, mewakili saudara-saudara seperguruannya menyampaikan rasa penasaran hati mereka. 

Para murid lainnya mengangguk setuju dan semua mata di-tujukan kepada pendekar itu. Dalam beberapa hari ini, Cia Han Tiong seolah-olah bertambah tua sepuluh tahun. Dia memandang para muridnya yang duduk bersila di depannya, dekat dengan peti-peti jenazah yang berjajar.

"Subo kalian dan para murid Pek-liong-pang tewas dalam perkelahian, bahkan pihak kita yang melakukan pengeroyokan. Mereka, juga subo kalian, tewas karena memang kalah pandai. Bukankah kalah menang adalah wajar saja dalam perkelahian? Juga luka atau tewas merupakan rangkaian dan akibat dari kekerasan yang dilakukan kedua pihak. Apa yang harus dibuat penasaran lagi?"

"Akan tetapi, suhu. Mereka yang datang menyerang, bukan kita yang mulai perkelahian itu."

"Mereka datang bukan tanpa sebab. Mereka datang sebagai akibat dari sebab lama, yaitu terbunuhnya nenek guru mereka oleh mendiang sukong kalian."

"Tapi, suhu. Mereka datang menyebar maut membunuh! Setelah suhu mengalahkan mereka, mengapa suhu melarang teecu sekalian membunuh mereka untuk membalas dendam, malah suhu membebaskan mereka. Sungguh bisa membuat orang mati penasaran!" kata seorang murid yang berwatak keras.

Han Tiong tersenyum duka dan timbul niatnya untuk mengajak para muridnya membuka mata melihat betapa pahit kadang-kadang kenyataan hidup itu adanya.

"Kalian dengar dan camkanlah baik-baik. Kalian bilang bahwa mereka datang membalas dendam dan membunuh, dan kalian menganggap mereka itu jahat. Akan tetapi kalian juga ingin membunuh mereka untuk membalas dendam. Lalu apa bedanya antara mereka dengan kita kalau kita juga ingin membunuh karena dendam? Membunuh adalah perbuatan jahat, apapun alasannya, apalagi membunuh dengan dasar dendam dan kebencian. Andaikata kita membunuh mereka berdua apakah enam belas jenazah ini akan dapat hidup kembali? Tidak, tidak ada gunanya sama sekali kalau kita membunuh mereka, bahkan kita menanam lagi bibit permusuhan baru. Mungkin bibit ini kelak berbuah dengan datangnya keturunan mereka yang akan membalas dendam kepada kita atau keturunan kita."

Hening sejenak. Semua kata-kata itu meresap di dalam hati sanubari para murid Pek-liong-pang karena mata mereka kini terbuka dan baru melihat kenyataan yang hebat.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang