Jilid 64

1.4K 26 0
                                    

"Jangan takut, pergilah dari sini!" kata pemuda itu yang bukan lain adalah Hui Song! 

Anak jembel itu pulih kembali semangatnya dan diapun cepat melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu, hampir tidak percaya bahwa kedua lengannya masih utuh. Dia dapat lolos demikian mudahnya.

Tentu saja dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu menjadi marah bukan main. Belum pernah ada orang berani mencampuri urusan mereka, apalagi menentang mereka. Pemuda berbaju kedodoran itu sungguh lancang sekali. Menyuruh bocah itu pergi sama saja dengan menantang mereka, maka mereka berdua berloncatan ke depan pemuda itu dengan tongkat melintang di depan dada dan pandang mata penuh ancaman.

"Siapakah engkau, begini berani mampus menentang kami?" bentak kakek pengemis yang bertahi lalat di dagunya itu.

Hui Song tersenyum mengejek. "Siapa adanya aku tidaklah penting, karena aku hanya orang biasa saja. Akan tetapi kalian inilah yang aneh luar biasa. Kalian ini jelas dua orang kakek, akan tetapi memakai pakaian kembang-kembang, begitu penuh aksi mengalahkan pemuda- pemuda remaja, dan kalian hendak mematahkan lengan anak kecil. Sungguh luar biasa sekali, tidak lumrah manusia. Siapakah kalian?"

Dua orang kakek itu saling pandang dengan muka merah. Belum pernah ada manusia sekurang ajar ini terhadap Hwa-i Kai-pang. 

Kakek kedua yang mukanya hitam melotot dan membentak, "Bocah kurang ajar! Apakah matamu sudah buta? Engkau berhadapan dengan dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang!" Agaknya kakek ini hendak menggertak dengan menggunakan nama perkumpulannya yang tersohor ditakuti orang.

Akan tetapi, pemuda tinggi besar yang berwajah cerah itu hanya tersenyum, sedikitpun tidak nampak kaget mendengar nama Hwa-i Kai- pang. "Hemmmm, kalau namanya seperti perkumpulan pengemis, akan tetapi kalau melihat tindakannya, patutnya perkumpulan tukang pukul. Apakah kalian ini pengemis merangkap tukang pukul?"

"Lancang mulut! Kami adalah pembantu pemerintah, menjaga keamanan!" bentak si tahi lalat.

"Menjaga keamanan dengan mematah-matahkan lengan anak kecil?" Hui Song mengejek.

"Anak itu telah menjadi tukang tadah. Jembel muda itu telah mencuri uang sedemikian banyaknya maka dibagi-baginya dan siapa yang menerima pembagiannya berarti tukang tadah barang curian."

"Wah, wah, baru sekarang aku melihat pengemis berlagak menjadi jaksa dan sekaligus hakimnya!" Tiba-tiba pengemis muda yang tadi membagi-bagi uang, berkata dengan suara nyaring sekali, "Hayaaa... ceriwis dan cerewet amat sih seperti tiga nenek-nenek tua bertengkar saja. Kenapa tidak genjot saja dan habis perkara?" Ucapan ini entah ditujukan kepada pihak pengemis ataukah kepada Hui Song, atau kepada ketiganya. Akan tetapi, ucapan itu agaknya mengenai sasaran karena dua orang pengemis itu sudah berteriak marah dan tongkat di tangan mereka bergerak menyerang Hui Song dengan gerakan cepat dan kuat.

"Hemm, kalian adalah orang-orang jahat, tak salah lagi!" Hui Song berkata sambil mengelak dengan sigapnya, kemudian balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya. Dua orang kakek itu menangkis dengan tongkat mereka dan Hui Song membiarkan lengannya tertangkis tongkat-tongkat itu.

"Plak! Plak!" Dua orang kakek pengemis itu terhuyung dan mereka merasa terkejut sekali mendapat kenyataan betapa pemuda itu memiliki kekuatan sin-kang yang amat besar, jauh lebih kuat daripada mereka. Merekapun mendesak lagi dengan permainan tongkat mereka yang cukup hebat. Namun kini Hui Song melayani mereka sambil tersenyum-senyum mengejek.

"Kalian berdua tukang pukul jembel tentu sudah banyak memukul orang, maka biarlah sekarang aku membalaskan mereka yang pernah kaupukul!" Hui Song berkata dan tangan kirinya bergerak secepat kilat, disusul tangan kanannya.

"Takk! Takk!" 

Kepala dua orang pengemis itu tak terhindarkan lagi terkena jitakan jari-jari tangannya. Dua orang kakek ini terhuyung dan mengelus kepala mereka yang menjadi benjol-benjol itu sambil meringis kesakitan. Hui Song memang mempermainkan mereka. Kalau jitakan di kepala tadi dia lakukan dengan pengerahan sin-kang, tentu kepala dua orang itu sudah retak dan mereka akan tewas seketika. Akan tetapi dia hanya menggunakan tenaga biasa saja, cukup membuat kepala yang dilindungi itu menjadi benjol sebesar telur ayam.

"Bagus... bagus... hantam terus...!" Terdengar suara orang bersorak dan ternyata yang bersorak itu adalah Sui Cin yang menyamar sebagai jembel muda yang membagi-bagi uang tadi. 

Siapa lagi jembel muda yang membagi-bagi uang itu kalau bukan Ceng Sui Cin? Biarpun ia selalu menyamar sebagai jembel muda atau gadis perantau yang tidak mewah, namun sesungguhnya dara ini kaya raya. 

Orang tuanya, Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah, adalah orang yang memiliki harta benda amat besar, terutama setelah pendekar sakti ini menjadi ahli waris dari Harta Karun Jenghis-Khan. 

Maka, sesungguhnya tidaklah terlalu mengherankan kalau Sui Cin dapat menghambur-hamburkan uang receh itu seperti orang membuang pasir saja. Ketika Hui Song muncul, seketika Sui Cin mengenal pemuda tinggi besar lihai yang menjadi putera ketua Cin-ling-pai ini dan hatinya merasa gembira. 

Terutama sekali karena ia sudah menyamar sebagai seorang jembel muda dan ia merasa yakin bahwa putera Cin-ling-pai itu tidak akan mengenalnya dalam penyamaran. Kini, melihat betapa pemuda yang lincah jenaka itu menghadapi dua orang kakek pengemis galak dan mempermainkan mereka, hatinya menjadi gembira dan iapun bersorak. Orang-orang di depan pasar itu lari menjauhkan diri melihat perkelahian yang dilakukan oleh dua orang kakek Hwa-i Kai-pang, takut terlibat dan terseret. Akan tetapi bagaimana mungkin jembel muda yang menjadi biang keladi kemarahan orang-orang Hwa-i Kai-pang itu malah bersorak-sorak melihat dua orang tokoh pengemis itu terkena pukulan lawan? Ini sama dengan mencari mati namanya!

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang