"Nona, ketika aku menolongmu, ternyata engkau hanya pura-pura saja bodoh sehingga hal itu bukan merupakan pertolongan. Akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak muncul dan membantuku menghadapi nenek iblis itu, tentu akan terancam bahaya besar diriku. Maka, sudah sepatutnya kalau aku menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu tadi."
"Hemm... siapa bicara tentang budi pertolongan? Engkau kebetulan melihat aku dalam kesukaran den menolong tanpa se-ngaja, sekarang akupun tanpa disengaja melihat engkau dikeroyok ular lalu turun tangan membantu. Tidak ada budi. Aku tidak pernah hutang budi atau melepas budi."
Ucapan seorang pendekar sejati, pikir Cia Sun yang menjadi semakin kagum. Begitu kagum hatinya sampai dia tidak lagi mampu bicara, hanya memandang kepada wajah dara itu seperti orang ter-pesona. Melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan bengong seperti orang bingung, Sui Cin tersenyum geli.
"He, apa yang kaupandang?" tanyanya tiba-tiba sehingga mengejutkan Cia Sun.
"Eh, tidak apa-apa... aku... hanya heran..."
"Mengapa heran? Apa rupaku tidak lumrah manusia?"
"Bukan begitu, tapi aku melihat nona mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin- kun! Bagaimana nona dapat mempelajari ilmu itu?"
"Hemm, dan engkau, bagaimana engkau dapat mengenal Ilmu Thai-kek Sin-kun yang kumainkan?" Suara itu lebih heran den lebih curiga.
"Karena aku heran sekali... ilmu itu adalah milik keturunan Cin-ling- pai..."
"Kalau begitu..."
"Siapakah nona yang pandai ilmu silat keluarga kami?"
"Dan siapa pula engkau ini yang mengaku-aku keluarga kami?"
"Ehh... jadi nona memang ada hubungan dengan Cin-ling-pai...? Siapakah namamu, nona?"
"Namamu dulu."
"Baiklah, namaku Sun, aku she Cia..."
"Haiii...! Engkau Cia Sun dari Lembah Naga? Wah, wah...! Aku... aku she Ceng..."
"Astaga... kau... kau ini Sui Cin anak yang bengal dulu itu?"
Sui Cin cemberut dan menghardik, "Siapa yang bengal?"
Cia Sun tersenyum lebar dan menjura. "Maaf, maaf... membayangkan engkau ketika masih kecil, sukarlah dipercaya engkau sekarang sudah menjadi begini... besar dan lihai!"
"Memangnya aku disuruh menjadi anak kecil selamanya? Dan jangan katakan aku bengal!"
"Ha-ha, siauw-moi, lupakah engkau kepada dahiku yang dahulu membenjol sebesar telur ayam karena kau sambit dengan batu?"
Sui Cin tertawa dan menutupi mulutnya walaupun suara ketawanya lepas bebas. Lalu disambungnya dengan kata-kata, "Wah, tentu saja aku ingat. Ayah ibuku memarahiku dan hampir aku kena digebuk ayah! Gara- gara engkau. Kenapa dahimu membenjol, baru kena batu begitu saja. Dan sekarang, Sun-ko, jangan kau melapor lagi kepada ayah ibu kalau bertemu dengan mereka, ya?"
"Melapor bahwa engkau menyamar sebagai jembel, bahkan sebagai pemuda jembel yang mencuri bakpao dan membiarkan dirimu ditangkap dan ditahan? Ah, tidak, Cin-moi. Kita bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sungguh telah menjadi seorang gadis yang..."
"... bengal...?"
"Tidak! Tidak...! Engkau sudah besar dan sungguh hebat kepandaianmu, bahkan Kiu-bwee Coa-li kewalahan menandingimu. Thai-kek Sin-kun tadi kau mainkan amat indah dan hebat."
"Sudah, jangan terlalu memuji. Bisa membengkak dan pecah kepala ini nanti. Kalau tidak kau bantu, apa kau kira aku dapat menang menghadapi nenek ular itu? Sungguh mengherankan sekali, apakah benar-benar Cap- sha-kui telah keluar dari sarangnya dan mengapa mereka bahkan datang ke tempat ini di mana para pendekar akan mengadakan pertemuan?"
"Bukankah baru seorang saja Kiu-bwee Coa-li tadi yang muncul?"
"Sudah tiga bersama nenek itu! Sebelumnya aku sudah bertemu dengan dua orang lain di antara mereka, di kuil Dewi Laut, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo."
Cia Sun mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu agaknya benar mereka itu telah keluar dari sarang. Bahkan baik untuk memperingatkan para sahabat dalam pertemuan nanti."
"Kalau begitu engkau hendak pergi menghadiri pertemuan para pendekar itu, Sun-ko?" Sikap dan suara Sui Cin demikian akrab, seolah-olah selama ini Cia Sun selalu bergaul dengannya. Padahal, selama hidupnya, baru satu kali ia berjumpa dengan Cia Sun, yaitu ketika ia diajak ayah bundanya mengunjungi Lembah Naga, kira-kira sembilan tahun yang lalu. Ketika itu ia baru berusia enam tahun dan Cia Sun berusia tiga belas tahun. Ia bersama orang tuanya tinggal setengah bulan di Lembah Naga dan setelah mereka pulang, ia tidak pernah lagi berjumpa dengan Cia Sun. Akan tetapi, karena memang gadis ini memiliki pembawaan riang dan ramah jenaka, maka ia mudah akrab dengan siapa saja. Cia Sun sendiri yang biasanya pendiam dan serius, juga agak malu kalau berdekatan dengan wanita, sekali ini kehilangan rasa canggungnya berkat sikap Sui Cin yang ramah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Berdarah
RomanceLanjutan Siluman Gua Tengkorak Kisah Cinta dua pasang muda mudi yang penuh dengan konflik dan pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang di harapkan, siapakah pasangan muda mudi yang bertualangan cinta...