Jilid 85

1.5K 25 0
                                    

"Dia bukan hanya merangkul, akan tetapi... hendak... mencium dan mengajakku melakukan... hal yang tidak senonoh..." Sui Cin tidak membohong ketika menceritakan ini karena memang dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda jembel, pernah ada seorang jembel pria lainnya yang berbuat seperti itu kepadanya sehingga ia menjadi marah, menghajar jembel itu sampai babak belur dan pingsan baru meninggalkannya.

"Ahh...!" Kini Hui Song terbelalak, kemudian menepuk pahanya sambil tertawa geli. Sui Cin melirik dengan hati mendongkol.

"Kenapa kau mentertawakan aku?" bentaknya.

"Aku tidak mentertawakan kau, Cin-te. Aku hanya merase geli sendiri. Aku sudah pernah mendengar tentang pria yang suka berzinah dengan pria lain, juga tentang wanita yang lebih suka bercinta dengan sesama wanita. Akan tetapi, wah, sialan benar! Apakah engkau menyamakan aku dengan pria itu?"

"Bukan begitu, akan tetapi pengalaman itu membuat aku merasa geli setiap kali ada pria memelukku. Itulah sebabnya mengapa aku tadi terkejut sekali."

"Maaf... maaf... aku tidak tahu dan tidak sengaja..."

"Sudahlah, asal mulai sekarang engkau jangan sekali-kali lagi mengulang perbuatan itu."

"Aku tidak berani...!" Hui Song tertawa.

"Awas kalau kau ulangi lagi, aku akan bilang kepada enciku bahwa engkau adalah seorang pemuda kurang ajar yang sukanya kepada sesama pria."

"Wah, gawat! Sungguh mati, aku tidak berani lagi. Eh, Cin-te, siapakah nama encimu itu?"

Sui Cin tidak segera menjawab, membesarkan nyala api unggun. "Enci akan marah kalau aku lancang memperkenalkan namanya. Engkau tanya sendiri saja kalau sudah bertemu dengannya."

Pada keesokan harinya, mereka memasuki pintu gerbang kota raja. Ketika Hui Song bertanya di mana adanya enci sahabatnya itu, Sui Cin menjawab, "Soal enciku mudah. Akan tetapi aku ingin sekali mengikutimu dan melihat bagaimana caranya engkau menyelidiki Hwa-i Kai-pang itu."

Terpaksa Hui Song mengajak Sui Cin melakukan penyelidikan. Setelah mereka mendapat keterangan di mana adanya gedung perkumpulan Hwa-i Kai-pang, mereka segera menuju ke sana. Gedung itu besar den megah, sungguh tidak pantas menjadi pusat perkumpulan para pengemis. Dan di pintu gerbang nampak pengemis-pengemis muda yang bertampang seram melakukan penjagaan dengan lagak seperti pasukan tentara menjaga pintu gerbang saja. Dan nampak pula beberapa kali orang-orang berpakaian seperti pejabat pemerintah naik kereta memasuki halaman gedung itu sebagai tamu.

Sui Cin sudah tidak sabar dan hendak menyerbu saja, akan tetapi Hui Song mencegahnya. "Kita datang bukan untuk menyerbu, melainkan untuk menyelidiki rahasia mereka. Nanti malam saja kita kembali dan melakukan pengintaian."

Malam itu sunyi dan dingin. Setelah makan malam Hui Song dan Sui Cin berangkat menuju ke gedung perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang. Gedung itu megah den besar, dikelilingi tembok tinggi dan satu-satunya pintu masuk pekarangan hanya pintu gerbang yang terjaga ketat siang malam itu. Akan tetapi, tidak sukar bagi Hui Song dan Sui Cin untuk memasuki pekarangan belakang dengan meloncati pagar tembok bagian belakang. Agaknya Hwa-i Kai-pang begitu percaya akan kebesaran nama dan pengaruh mereka sehingga menganggap mustahil ada orang yang bosan hidup berani memasuki pekarangan mereka tanpa ijin, maka bagian belakang tidak dijaga.

Bagaikan dua ekor kucing, Hui Song dan Sui Cin menyelinap dan naik ke atas genteng bangunan bersembunyi di balik wuwungan. Tak lama kemudian mereka sudah membuka genteng mengintai ke bawah, ke dalam sebuah ruangan di bagian belakang gedung itu. Ruangan itu luas dan melihat gambar-gambar orang bersilat yang berada di atas dinding, juga adanya rak penuh bermacam senjata di sudut, mudah diduga bahwa ruangan itu tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Di sebuah sudut ruangan nampak empat orang duduk seenaknya di atas lantai. Keadaan empat orang kakek itu menyeramkan. 

Keempatnya mengenakan baju tambal-tambalan dan berkembang-kembang seperti baju pengemis akan tetapi kainnya masih baru. Yang menyeramkan adalah wajah dan sikap mereka. Seorang yang duduk hampir rebah bertubuh gendut dengan perut seperti gentong, kepala botak dan rambutnya dikuncir lucu seperti ekor babi. Alisnya tebal, mata hidung dan mulutnya besar-besar. Orang kedua di sebelah kirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang rambutnya panjang riap-riapan, kepalanya memakai kopiah pendeta, tangan kanan memegang pipa tembakau berbentuk ular. Dia nampak kurus sekali bersanding kakek pertama yang kegerahan membuka bajunya, atau mungkin juga karena perutnya terlalu gendut, kancing bajunya tak dapat ditutup. Orang ketiga lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar nampak kuat. Mata kirinya ditutup dengan penutup mata berwarna hitam. Rambutnya sedikit, hampir gundul dan wajah yang bermata satu ini membayangkan kebengisan yang kejam. Orang keempat berwajah buruk, dengan mulut yang moncong bentuknya, punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat bulat. Agaknya mereka sedang bercakap-cakap dengan santai, menghadapi arak wangi dan sepiring ayam panggang utuh berada di antara mereka.

Hui Song dan Sui Cin yang mengintai merasa heran. Melihat pakaian mereka berempat itu, agaknya tak salah lagi bahwa empat orang itu tentu tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sikap dan wajah mereka sama sekali tidak pantas menjadi tokoh jembel. Lebih patut kalau menjadi kepala-kepala rampok!

"Kurang ajar sekali, kini di Cin-an muncul dua orang muda yang berani menentang kita!" si perut gendut, berkata sambil mengembangkan lengan kanan.

"Kalau mereka tidak lari dan kuketahui tempatnya, tentu keduanya takkan kuampuni lagi, akan kupatahkan kaki tangan mereka dan kukeluarkan isi perut mereka!" kata si mata satu dengan suara penuh geram.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang