Jilid 37

1.6K 31 0
                                    

Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, namun mereka tidak berani berkutik. "Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!"

Seperti lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu. Kakek ini sekarang kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeramkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.

Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat di mana tadi mereka setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Di antara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangnya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa kakek buta itu dengan bengis memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu. 

Ada dua puluh satu orang termasuk Siangkoan-lojin yang hadir. Mereka ini masing- masing mempunyai anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tidak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan. Selain tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk dapat mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu. 

Tempat itu dikelilingi jurang yang curam dan di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang liar airnya dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya kalau naik perahu melewatinya. Pula, dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk mendaki ke atas tebing walaupun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar dari tempat pertemuan rahasia itu. Jika dilihat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bulan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.

"Hanya ada dua puluh dua orang semuanya?" Tiba-tiba Siangkoan-lojin bertanya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan merekapun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang begitu banyak dengan tepat? Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah! 

Tentu saja, tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apalagi tiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga Tho-tee-kwi, tidak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini memiliki perasaan yang amat peka, pendengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing. Dengan mengandalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka dengan telinganya, dan mencium bau yang berlainan dengan hidungnya. Bahkan dalam perkelahian, kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat mengandalkan ketajaman pendengarannya sehingga setiap gerakan lawan dapat diketahuinya dengan seksama, bahkan lebih cepat daripada daya tangkap penglihatan mata yang kadang-kadang kabur.

"Benar, lojin. Yang hadir ada dua pu-luh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.

"Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"

"Ada tujuh orang, lojin." Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena iapun hendak memberitahukan raja datuk itu bahwa iapun hadir.

"Tujuh orang? Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berkerut.

"Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui- kok Lo-mo, aku sendiri dan lojin..."

Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua orang terkejut. Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, namun terlambat karena tahu-tahu kakek buta itu telah mencelat ke depan, tongkatnya menyambar dan Kui-kok Lo-bo menjerit lalu roboh terlentang, ujung tongkat menempel di lehernya. 

Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru merobohkan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu! "Mulut lancang! Kau samakan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"

Kui-kok Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berobah menjadi kehijauan. "Lojin, ampunkan aku..." ia meratap.

"Lojin, harap maafkan ia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tanpa dia dapat menolongnya itu.

Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek. "Kalau aku tidak mengampuninya, apakah sekarang ia masih tinggal hidup? Perempuan lancang, engkau menyesal telah bersalah kepadaku?"

"Aku menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.

"Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Buta. 

Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itulah penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasa-nya amat galak dan kejam itu kini berlutut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!

"Sekali lagi!" bentak iblis itu dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang