Dibentak demikian, Hui Song baru sadar bahwa sejak tadi dia memandang dengan bengong. Dia dapat merasakan keadaan yang lucu di antara mereka, maka diapun tersenyum lebar.
"Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!" Sui Cin makin marah karena merasa ditertawakan.
Orang yang sedang dikuasai nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah kalau hati diracuni nafsu amarah.
Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!
"Ha-ha-ha, sungguh lucu engkau, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... eh, hebat? Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!" Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.
"Apa hebat? Apa maksudmu dengan kata hebat itu?" tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah.
Kini terpaksa Hui Song berterus terang. "Engkau hebat... karena engkau begini cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."
"Engkau laki-laki... cabul...!" Sui Cin membentak dan payungnya sudah bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!
"Wuuutt... singgg...! Heeiiittt...!"
Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.
"Wah, tahan dulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih? Tadi engkau membantuku menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kenapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate, kau tusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"
"Manusia ceriwis, cabul, sialan!" Sui Cin menyerang terus dan kini Hui Song mendapatkan kegembiraan lain, yaitu dia memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang dikagumi ini dan yang juga mengherankan hatinya melihat jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai jurus-jurus keluarga Cin-ling-pai.
Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa hebat den berbahayanya ilmu silat dara itu, dan bahwa watak keras dara itu membuat serangan-serangannya tidak main-main lagi, diapun tidak berani memandang rendah dan terpaksa dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menandingi Sui Cin. Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu sedemikian lihainya sehingga tidak mungkin dia bertahan terus tanpa balas menyerang, karena hal itu amat berbahaya. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun untuk bertahan diri dan kadang-kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.
Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar amat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir daripada ia sendiri. Sampai lima puluh jurus mereka berkelahi dan belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.
"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang.
Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi den lehernya agak basah oleh peluhnya dan matanya bersinar-sinar.
"Belum ada yang kalah kenapa berhenti?" bentak Sui Cin penasaran.
Hui Song tersenyum dan wajahnya bersungguh-sungguh. "Terus terang saja, selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh ketika iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau merupakan lawan yang lebih tangguh lagi daripada mereka. Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa kita berdua adalah saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-ling-pai..."
"Aku bukan murid Cin-ling-pai!" ben-tak Sui Cin. "Apa kau kira hanya putera ketua Cin-ling-pai saja yang mampu bersilat?"
Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar, sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum. Sui Cin sendiri tersenyum di dalam hati dan mengaku bahwa tidak mungkin marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.
"Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata mengenalku sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal ketua Cin-ling-pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apalagi menikah!"
Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walaupun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.
"Siapa perduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!" jawabnya, kemudian ia meninggalkan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Berdarah
RomanceLanjutan Siluman Gua Tengkorak Kisah Cinta dua pasang muda mudi yang penuh dengan konflik dan pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang di harapkan, siapakah pasangan muda mudi yang bertualangan cinta...