Jilid 21

1.9K 34 1
                                    

Tentu saja Cia Sun sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dianggapnya yatim piatu dan miskin, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya itu dan keluarganya, akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari ayahnya. Menurut keterangan ayahnya, pamannya itu yang berjuluk Pendekar Sadis sesungguhnya adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biarpun belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat kepada pamannya itu.

Ketika isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan isterinya. Mereka hidup di tempat yang amat sepi, jauh di utara dan tetangga mereka hanyalah penduduk liar di dusun- dusun yang amat jauh. Ketika mereka hidup berdua, hal ini sama sekali tidak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan tetapi setelah Cia Sun terlahir, mereka membayangkan betapa akan sepinya kehidupan putera mereka kalau di tempat itu tidak ada manusia lain kecuali mereka bertiga saja. 

Maka Cia Han Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai persilatan yang diberi nama Pek- liong-pang (Partai Naga Putih). Dia mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid. Kini, setelah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-liong-pang juga sudah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggauta sebanyak lima puluh orang lebih. 

Belasan orang murid yang sudah dianggap lulus oleh ketuanya kini telah meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-liong-pang sehingga nama perkumpulan ini mulai dikenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan menjadi tempat penggemblengan calon-calon pendekar di utara.

Demikianlah keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang mentaati pesan ayahnya, tidak mudah melibatkan diri dengan urusan orang lain. Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa ke markas, dia merasa penasaran dan tertarik sekali. Diam-diam dia membayangi mereka dan dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke dalam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan.

Ketika dia melihat Sui Cin diperiksa, mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia merasa tidak tega. Tadinya dia memang mendiamkan saja pemeriksaan itu karena dianggapnya sudah selayaknya kalau komandan itu melakukan penyelidikan karena diapun sudah mendengar betapa banyak perajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di kuil Dewi Laut. 

Akan tetapi, ketika melihat bahwa jembel muda itu adalah seorang dara, hatinya merasa tidak tega. Dia lalu turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang tepat mengenai jalan darah di dekat pelipis komandan gendut itu sehingga mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu di-suruh tahan dalam sel. Malamnya, dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Sungguh di luar dugaannya bahwa selain tabah, gadis itu memang amat aneh. Ditolong tidak bersyukur, eh, malah marah-marah!

Akan tetapi, sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik hatinya, membuat malam itu Cia Sun merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya pada diri orang lain, apalagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mencemoohkannya, terbayang saja di depan matanya.

"Ihh, mengapa aku ini?" pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibunya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah. 

Dia selalu menolak karena memang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang dan ingin segera mempunyai cucu! Teringat akan hal itu, wajahnya menjadi merah. 

Mengapa tiba-tiba dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah memasuki otak-nya, dan apa hubungannya gadis jembel itu dengan pernikahan? Wajahnya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apa artinya ini? Inikah yang dinamakan jatuh cinta seperti yang seringkali dibacanya dari buku-buku akan tetapi yang belum pernah dirasakannya itu?

Ketika dia termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-liong-pang, jatuh cinta kepada seorang gadis jembel! Baginya sendiri seorang pendekar muda yang sejak kecil digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan tidak membeda-bedakan antara kaya miskin. 

Akan tetapi dia dapat melihat betapa nama besar Pek-liong-pang yang dijunjung tinggi oleh para pendekar murid Pek-liong-pang dan juga oleh orang- orang kang-ouw, dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi membuat keluarga Cia terikat oleh belenggu "kehormatan" dan kemuliaan sehingga mereka tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau mencemarkan keharuman nama Pek-liong-pang itu!

Satu di antara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walaupun sifatnya lebih dalam daripada kesenangan badan. Pengejaran terhadap kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap kesenangan badan maupun batin. Kita mengejarnya, kalau sudah dapat kita hendak mempertahankannya. 

Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini jelas terdapat kekerasan. Di waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan. Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin menghilangkannya dari tangan kita. 

Betapapun menyenangkan adanya sesuatu itu, baik bagi badan maupun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan kekecewaan. Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini menyenangkan, hari esok malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing di antara senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai, dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran setiap detik. 

Alangkah bahagianya batin yang tidak lagi dapat diombang-ambingkan senang dan sudah, seperti sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah berobah walaupun ada badai dan ombak menggunung. Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur di antara ombak-ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan dapat menikmati hempasan gelombang yang bagaimanapun juga.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang