"Nah, tidak kena lagi! Gerakanmu terlalu lemah! Apa kau belum makan? Kalau lapar jangan bertanding silat, nanti masuk angin...!"
"Wuuuuttt... sing...!"
"Apa kubilang, luput lagi...!"
"Keparat!" Kakek itu memaki dan memutar cambuk bajanya lebih cepat lagi. Cambuk itu sendiri lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu membentak, suaranya demikian keras mengejutkan.
"Perlahan dulu!"
Kakek itupun terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung cambuknya yang dipasangi paku itu telah tertahan dan terjepit oleh dua jari tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya!
Semua orang memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biarpun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan! Dia mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan! Sin-kang yang amat kuat, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani mengeluarkan kata-kata sombong, kiranya bukan bual belaka dan memang pemuda ini "berisi".
Dia mengerahkan tenaga lagi sambil menarik dan tiba-tiba "Singggg...!" pemuda itu melepaskan jepitan jarinya! Tentu saja paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya.
"Uhhh...!" Hampir saja muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berobah agak pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri.
"Nah, apa kubilang? Jangan main-main dengan segala pecut dan paku yang tiada gunanya, salah-salah hidungmu sendiri terpaku!" pemuda itu mengejek dan beberapa orang anggauta Kang-jiu-pang bersorak.
Kini wajah Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia hampir celaka. Hatinya menjadi penasaran sekali. "Orang muda, beritahukan namamu agar aku tahu dengan siapa aku bertanding!"
Pemuda itu tersenyum. "Eh, kenapa tanya-tanya nama segala? Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu? Wah, jelas kutolak kalau mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi, biarlah agar engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu, aku she Cia bernama Hui Song!"
"Dari perguruan mana?"
"Cerewet! Memangnya kita ini kong-kauw (ngobrol) atau sedang bertanding? Hayo lanjutkan permainan cambuk bajamu yang jelek itu!" Pemuda yang bernama Cia Hui Song itu mengejek.
"Bocah sombong!" Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya. "Tar- tar-tarrr!" lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ubun-ubun kepala Cia Hui Song.
Akan tetapi, sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan jari tangannya untuk menjentik.
"Tringgg...!" Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya!
Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan menghujankan serangan. Akan tetapi terdengar suara nyaring tang-ting-tang-ting ketika Hui Song menyambut paku itu dengan jentikan jari-jari tangan bahkan diapun lalu membalas dengan tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya sehingga angin pukulannya saja membuat rambut dan baju lawannya berkibar-kibar dan dalam beberapa gebrakan saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.
Kini baru benar-benar Hek-mo terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa amat penasaran dan malu. Dia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kui-bo untuk menjadi muridnya dan siapa kira, bocah ini malah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dia hanya ingin menjadi gurunyapun tidak mampu menandinginya!
Sementara itu, Hwa-hwa Kui-bo dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan menghadapi sepak terjang ketua Kang-jiu-pang dengan sepasang tangan bajanya itu. Tangan kanannya yang memegang pedang juga terasa lelah sekali karena setiap kali bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar.
Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak, "Kui-bo, mari kita pergi!" iapun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali. Iapun tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini, lambat laun ia akan kalah melawan ketua Kang-jiu- pang.
Cepat tangan kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan. Song Pek Lun maklum akan bahayanya jarum-jarum itu, maka diapun cepat mengelak mundur sambil menggunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki jarum-jarum sehingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kui-bo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dahulu tanpa dikejar oleh Cia Hui Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya mengambil langkah seribu.
Pemuda itu lalu menghadapi Song Pak Lun dan menjura. "Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang terancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu cepat-cepat bersama seluruh anggauta Kang-jiu-pang meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggauta Kang-jiu-pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau membasmi Kang-jiu-pang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Berdarah
RomanceLanjutan Siluman Gua Tengkorak Kisah Cinta dua pasang muda mudi yang penuh dengan konflik dan pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang di harapkan, siapakah pasangan muda mudi yang bertualangan cinta...