Jilid 56

1.4K 23 0
                                    

Tidak percuma Hui Song menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang telah digembleng dengan keras sejak dia masih kecil dan sekarang dia sudah mewarisi semua ilmu ayah dan ibunya sehingga tingkat kepandaiannya hanya berselisih sedikit saja dibandingkan dengan ayahnya sendiri. 

Maka tentu saja dia dapat bergerak dengan amat sigapnya dan biarpun dikeroyok oleh dua orang tokoh Cap-sha-kui, pemuda ini dapat mengimbangi permainan mereka, bahkan dia nampak lebih unggul karena selain menang tenaga sin-kang, juga ilmu silatnya yang banyak macamnya, aneh-aneh dan terdiri dari ilmu-ilmu yang tinggi itu membingungkan kedua orang pengeroyoknya.

Melihat betapa dua orang rekannya itu sampai lima puluh jurus belum juga mampu mengalahkan lawan yang masih begitu muda, si raksasa berjubah hijau compang-camping menjadi tidak sabar lagi. Tadinya dia nonton sambil duduk di atas batu besar di dekat pohon. Kini dia bangkit berdiri dan sekali dia menggerakkan kakinya, terdengar suara hiruk-pikuk dan batu sebesar perut kerbau itu sudah ditendangnya sampai terlempar cukup jauh!

"Kalian berdua mundurlah dan biarkan aku merobek tubuhnya menjadi dua po-tong!" katanya.

Dua orang rekannya merasa girang dan cepat meloncat ke belakang. Mereka berdua merasa kehilangan muka kalau sampai mereka tidak dapat mengalahkan pemuda itu, apalagi kalau sampai mereka harus mengeluarkan senjata. Kini, Tho-tee-kui sudah menyuruh mereka mundur, berarti mereka berdua belum sampai kalah!

Hui Song berdiri tegak memandang kepada raksasa yang sudah berdiri di depannya. Memang hebat sekali kakek itu. Dia sendiri bukan seorang yang kecil pendek, sebaliknya dia termasuk seorang pemuda yang memiliki tubuh cukup tinggi besar. 

Akan tetapi, berhadapan dengan Tho- tee-kwi, tingginya hanya sampai di bawah pundak raksasa itu dan lengan raksasa itu besarnya sama dengan betisnya! 

Tho-tee-kwi menyeringai sambil memandang pemuda itu. "Orang muda, engkau boleh juga dapat dapat menandingi mereka berdua. Sayang engkau harus mampus di tangan Tho-tee-kong!"

"Hemm, kiranya inikah yang berjuluk Setan Bumi? Tho-tee-kwi, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang datuk sesat yang tidak pernah turun tangan sendiri mencampuri urusan dunia ramai, apakah sekarang engkaupun sudah ikut-ikutan menjadi kaki tangan golongan tertentu untuk mengacau dunia?" Hui Song mengejek, tidak tahu siapa sebenarnya yang mempergunakan tenaga para datuk sesat ini sehingga kini Cap-sha- kui yang terkenal datuk-datuk besar yang tidak pernah turun tangan sendiri itu nampak berkeliaran di mana-mana.

"Ha-ha, orang muda, menurut keterangan dua orang rekanku, engkau pernah membantu mereka dan menyelamatkan kaisar, akan tetapi sekarang engkau membalik menentang kami. Mengingat engkau pernah berjasa, aku memberi kesempatan kepadamu untuk bersatu dengan kami dan menjadi sahabat kami. Akan tetapi, kesempatan ini hanya kuberikan satu kali saja," kata Tho-tee-kwi yang sebenarnya lebih suka kalau dapat bersahabat dan bekerja sama dengan pemuda yang dia sudah lihat memiliki kepandaian yang tinggi itu.

"Bekerja sama dengan datuk-datuk kaum sesat? Dengan Cap-sha-kui? Wah, engkau hendak menarikku sehingga Tiga Belas Setan akan menjadi Empat Belas Setan? Tak usah, ya! Terima kasih. Penawaranmu kutolak dan kalian menjemukan hatiku. Pergilah agar aku bisa tidur lagi, kalian mengganggu tidurku saja." Berkata demikian, Hui Song teringat bahwa kalau tadi tidak ada tahi tikus menjatuhi dahinya, tentu dia sudah celaka ketika gubuk itu ditendang runtuh oleh raksasa ini.

"Engkau sia-siakan kesempatan baik dan engkau memilih tidur selamanya? Baiklah, kucabut saja nyawamu!" Berkata demikian, kedua lengan yang besar itu menyambar ke depan, kaki kanan dihentakkan dan bumipun tergetar hebat. 

Seperti terjadi gempa bumi saja ketika raksasa itu menghentakkan kakinya dan pada saat itu, kedua tangannya yang besar- besar telah menyambar dengan serangan pertamanya, yang kanan mencengkeram ke arah kepala Hui Song, sedangkan yang kiri menyambar ke arah perut. Serangan itu dilakukan oleh kedua tangan yang mengandung kekuatan dahsyat.

Hui Song mengenal serangan berbahaya. Dia tahu bahwa kakek raksasa yang menjadi lawannya ini adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang kuat sekali sehingga mengadu tenaga kasar dengan orang ini sama saja dengan mencari penyakit. 

Maka diapun bersikap cerdik, mengandalkan kegesitannya dan mengelak sambil menusukkan jari tangannya untuk menotok ke arah jalan darah dekat siku ketika lengan itu meluncur lewat. Akan tetapi, ternyata di samping kekuatannya yang dahsyat, raksasa itupun memiliki gerakan cepat. 

Sikunya telah ditekuk dan lengan itu menebas ke bawah untuk membabat tangan lawan, dilanjutkan dengan cengkeraman untuk menangkap pergelangan tangan pemuda itu dan tiba-tiba kakinya dibanting lagi dibarengi dengan tamparan dahsyat ke arah kepala Hui Song! Bantingan kaki itu sungguh membuat Hui Song terkejut dan kehilangan keseimbangan sehingga ketika tangan yang besar menampar, elakannya agak lambat dan pundaknya kena serempet tangan yang lebar dan kuat itu.

"Desss...!" 

Tubuh Hui Song terpelanting, akan tetapi karena pemuda ini tadi dengan cepat telah mengerahkan ilmu Tiat-po-san, semacam ilmu kebal yang dipelajarinya dari ayahnya, maka tamparan yang menyerempet pundaknya itu tidak mendatangkan luka. Hanya saking kerasnya tenaga tamparan, tubuhnya terpelanting dan Hui Song cepat mengerahkan keringanan tubuh untuk menjaga tubuhnya agar tidak sampai terbanting jatuh. 

Dengan jungkir balik dia dapat turun lagi ke atas tanah menghadapi lawannya yang tangguh itu sambil mengatur langkah-langkah Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu ini ampuh sekali untuk melawan musuh yang pandai dan dengan ilmu ini berarti Hui Song tidak memandang rendah lawannya. 

Lawannya adalah seorang di antara pentolan-pentolan Cap-sha-kui yang amat lihai maka diapun harus bersikap hati-hati sekali. Ketika lawannya membanting kaki lagi, diapun mengerahkan sin-kang dan dari dalam perutnya keluar tenaga melalui mulut dan dia berseru, "Hehh!" dan lenyaplah pengaruh bantingan kaki yang tadi menggetarkan tubuhnya itu sehingga dia dapat menghadapi serangan lawan dengan tenang dan balas menyerang dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin- ciang. 

Dia harus menyelingi Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dipergunakan untuk melindungi tubuhnya itu dengan jurus-jurus ampuh dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan Im-yang Sin-kun dan setiap kali memukul dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang karena maklum bahwa tubuh lawan yang seperti raksasa itu amat kuat dan kebal.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang