Jilid 105

2.8K 33 0
                                    

Wu-yi Lo-jin lalu duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari balik jubahnya yang kedodoran itu dia mengeluarkan sebuah mang-kok yang masih baru dan mengkilap dan sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang mahal! Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu dan tak lama kemudian nampak dia mengunyah makanan dengan mata meram-melek, jelas sekali nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tak pernah berkedip dan jakunnya turun naik. Dia sendiri sedang merasa lapar, maka melihat orang makan dengan demikian lahap dan enaknya, tentu saja seleranya timbul. Sui Cin juga memandang sambil tersenyum girang.

"Bagaimana, kek? Bagaimana pendapatmu? Bukankah masakanku enak sekali?" Sui Cin bertanya tak sabar lagi setelah dua macam masakan itu habis lenyap ke dalam perut kakek katai itu.

Sambil mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk- angguk, menanti sampai dia menelan makanan itu baru menjawab, "Lumayan, akan tetapi aku belum yakin benar kalau masakanmu lebih enak daripada masakanku. Mana... masih ada lagikah?" Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.

"Hi-hik, kakek curang, kau kira aku tidak tahu isi hatimu? Kau kira aku dapat kau bodohi begitu saja? Kalau tidak lezat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan engkau sikat semua sampai habis, sehingga engkau sampai lupa sopan santun, makan sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali? Cih, dan masih tidak malu untuk menyangkal bahwa masakanku sangat lezat?"

Ditegur begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia menoleh kepada Hui Song, lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada lagi? Jangan kau bohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang belum kau hidangkan!" Kakek itu mengusap bibir dengan saputangan sutera, kemudian membuka tutup guci arak dan minum arak dengan suara menggelogok.

Sui Cin tersenyum. "Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"

"Sudah, kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"

"Nanti dulu, kek. Kalau kau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa saja yang kuminta seperti janji kita, bukan? Ataukah engkau juga tidak malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"

"Heh-heh, anak nakal! Katakan, mau minta apa? Aku hanya punya guci arak ini, boleh kauminta setelah araknya habis kuminum nanti!"

"Aku tidak butuh guci arakmu, kek!"

"Apa...?" Kakek itu membelalakkan matanya. "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini? Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan -sebagai senjata, ampuhnya bukan main!"

"Biarpun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."

"Hemm, lalu apa yang kauminta? Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini? Ataukah pakaianku? Aih, kurasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas sandang panganku!"

"Bukan! Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan gin-kang kepadaku sampai aku dapat bergerak secepat engkau, kek!"

Kini sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau percakapan mereka terdengar orang lain.

"Ah, tidak bisa... tidak bisa...!"

"Nah, ketahuan sekarang belangmu!" Sui Cin berseru. "Sudah menelan habis semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa janji. Baru begitu saja sudah hendak mengingkari janji, apalagi kalau janji-janji penting!"

"Wahh... berabe... ssttt. Jangan keras-keras...!" Dia lalu berbisik, "Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh menyebut guru kepadaku."

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang