Jilid 122

1.9K 30 1
                                    

"Pergilah... jangan ganggu aku...!" kata Hui Song lemah akan tetapi empat orang wanita itu tidak menghentikan usaha mereka. 

Dalam keadaan seperti itulah tadi kakek Mancu dibawa oleh Thian Bu untuk melihat ke dalam kamar. Tentu saja dia merasa terkejut dan marah. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda yang diterima dengan ramah dan baik oleh Lam-nong itu, yang dianggap sebagai seorang sahabat suku bangsanya hanya untuk menjadi mata-mata, dan setelah terjadi penyerbuan, berbalik malah menjadi musuh dan melakukan hal-hal yang amat tidak patut, yaitu menzinahi isteri-isteri kepala sukunya.

Kakek Mancu itu tahu bahwa kepala sukunya, Lam-nong, berhasil menyelamatkan dirinya, dan dia tahu pula di mana kepala suku itu menyembunyikan diri, karena pernah mereka melewati sebuah hutan sebelum tiba di dusun itu dan Lam-nong pernah mengatakan bahwa hutan itu merupakan tempat yang amat baik untuk menyembunyikan pasukan kalau kelak terjadi perang di tempat itu. Maka diapun lalu memasuki hutan itu dan menyusup-nyusup, mencari-cari dan memanggil-manggil. Akan tetapi baru dua hari kemudian panggilannya terjawab dan muncullah Lam-nong dari balik semak-semak belukar.

Melihat pemimpinnya berada dalam keadaan compang-camping itu, kakek Mancu lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Lam-nong merangkul satu-satunya anak buah yang masih hidup ini dan dapat dibayangkan betapa marah hatinya mendengar laporan orang itu bahwa seluruh anak buahnya dalam rombongannya telah habis dan tewas semua, dan betapa isteri-isterinya telah menjadi korban perkosaan, dan terutama sekali betapa Cia Hui Song ternyata adalah seorang tokoh pemberontak dan juga ikut pula menzinahi empat orang isterinya yang paling disayangnya!

"Mustahil!" Dia membentak. Cia-taihiap adalah seorang sahabat dan dia pula yang telah menyelamatkan aku sampai ke sini!"

"Saya melihat sendiri dia dan empat orang isteri paduka dalam sebuah kamar, dalam keadaan yang amat tidak sopan dan memalukan. Saya berani bersumpah!" kata kakek itu.

Lam-nong mengerutkan alianya dan hatinya mulai terasa panas. "Akan tetapi... kenapa dia bersikap begitu baik ketika menjadi tamu kita, dan dia sama sekali tidak pernah bersikap kurang ajar atau menggoda isteri-isteriku. Kenapa sikapnya berbalik secara mendadak seperti itu dan kenapa pula dia menyelamatkan aku kalau memang dia itu berpihak kepada musuh?"

"Dia tentu bertindak sebagai mata-mata ketika menjadi tamu kita, dan dia sengaja menyelamatkan paduka hanya untuk menutupi niatnya yang busuk terhadap isteri-isteri paduka. Bagaimanapun juga, sepasang mata saya tidak dapat ditipu dan saya melihatnya sendiri." Lalu kakek Mancu ini menceritakan kembali dengan penggambaran yang lebih jelas apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, betapa dalam keadaan setengah telanjang Hui Song dipeluki oleh empat orang isteri Lam-nong yang telanjang bulat. 

Mendengar penggambaran itu, hati Lam-nong menjadi semakin panas. Dia sudah terpukul sekali mendengar akan terbasminya seluruh anak buahnya, dan kini mendengar akan perbuatan Hui Song terhadap empat orang isterinya yang tercinta, dia mengepal tinju dan mukanya menjadi merah. Hui Song berjanji akan menyelamatkan seorang selirnya yang paling dicinta, siapa tahu pemuda itu malah menzinahi selirnya itu dengan selir-selir lain pula.

"Keparat jahanam Cia Hui Song!" dia mengutuk, akan tetapi Lam-nong lalu menutupi mukanya dengan kedua tangannya. "Kasihan isteri-isteriku yang malang..." dan diapun menangis! Kakek Mancu itu menjadi terharu sekali melihat pemimpinnya menangis dan diapun teringat akan dua orang anaknya yang menjadi anggota rombongan dan tewas pula, maka tak dapat ditahannya, diapun kini menangis. Dua orang laki-laki itu menangis di dalam hutan yang lebat dan sunyi, dengan hati dilanda duka yang hebat.

Dan memang sepatutnya Lam-nong menangisi isteri-isterinya karena nasib wanita-wanita itu memang menyedihkan. Sim Thian Bu adalah seorang laki-laki cabul yang berhati kejam bukan main. Dia tidak pernah merasa puas dengan wanita tertentu dan menganggap wanita seperti makanan atau pakaian saja. Kalau sudah kenyang dimakannya, maka sisanya akan diberikan kepada anjing dan kalau sudah bosan memakainya, bekasnya akan dicampakkan begitu saja. Demikian pula setelah dia merasa kenyang dan bosan terhadap empat orang wanita itu, untuk menyenangkan hati anak buahnya, Thian Bu lalu menghadiahkan empat orang tawanan itu kepada anak buahnya. Empat orang wanita yang sejak dahulu hidup berbahagia di samping Lam-nong kini mengalami nasib yang mengerikan. Mereka itu diperebutkan dan dipermainkan banyak orang kasar sampai akhirnya mereka tidak tahan dan tewas menyusul teman-temannya yang sudah mendahului mereka!

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang