Jilid 33

1.7K 35 0
                                    

Demikianlah, ketika mendengar bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, mereka yang dinamakan kaum sesat itupun segera bergerak dan mendahului pertemuan itu dengan mengadakan pertemuan rahasia di tempat liar itu, hanya belasan li jauhnya dari tempat yang akan dijadikan balai pertemuan para pendekar! 

Dan pertemuan rahasia ini tidak tanggung-tanggung karena pengundangnya adalah Cap-sha-kui. Berbondonglah mereka yang merasa dirinya sudah "tokoh" untuk menghadiri pertemuan rahasia itu. Dan memang sesungguhnyalah, kalau tidak memiliki kepandaian tinggi, jangan harap akan bisa mendatangi tempat pertemuan rahasia yang ditentukan itu dan agaknya dalam hal ini memang Cap-sha-kui hendak menguji dan menyaring para tokoh sesat. Mereka yang tidak tinggi tingkat kepandaiannya tidak akan berani atau dapat datang.

Para tokoh besar kaum sesat banyak yang memiliki kebiasaan dan watak yang aneh dan tidak lumrah manusia pada umumnya. Karena kepandaian mereka yang tinggi dan watak mereka yang ganas, mereka kadang-kadang bukan seperti manusia lagi. Biasanya, mereka tidak pernah memperdulikan orang lain, yang terpenting adalah diri sendiri. 

Akan tetapi agaknya sekali ini, karena tuntutan keadaan dan karena kekhawatiran terhadap keamanan diri sendiri, mereka berusaha untuk mengadakan pertemuan dan untuk bersatu. Demikian anehnya mereka sehingga pertemuan rahasia itupun diadakan di waktu tengah malam! Demikian bunyi undangannya dan pada malam yang ditentukan, ternyata tepat malam bulan purnama.

Malam itu bulan yang bulat amat terangnya. Tidak ada awan hitam yang gelap, yang ada hanyalah awan-awan putih tipis yang terbang lalu dengan lembutnya. Suasana di tanah lapang dekat dinding gua-gua itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apapun, sepi dan lengang. Akan tetapi, menjelang tengah malam, terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengerikan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin keras, menyayat hati seperti anak yang dalam kesakitan.

Setelah tangis yang makin meninggi itu sampai di titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti, suaranya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan menakutkan, sampai beberapa lamanya. Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak terdengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itupun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, seperti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu ter-henti dan kembali lengang. Menegangkan dan mengerikan!

Dan di dalam suasana yang menegangkan itu, tiba-tiba saja nampak dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seolah-olah pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan, hanya karena gerakan mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ. Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Kalau didekati, memang mereka itu amat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah! Kalau dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Sepasang mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya. Siapa yang berjumpa dengan mereka di malam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia.

Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput, demikian kurus muka itu sehingga hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala! Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa di waktu mudanya nenek ini seorang wanita cantik. Akan tetapi wajahnya pucat sekali, bahkan bibirnya agak kebiruan, dengan sepasang mata yang mencorong itu ia mirip siluman. 

Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat. Dan mereka itupun sesungguhnya demikian. Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok ( Lembah Iblis) sebuah tempat di Pegunungan Hong-san yang amat berbahaya dan jarang ada orang, betapapun pandainya berani lancang memasuki daerah itu di mana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya. Mereka tidak pernah memakai julukan, akan tetapi orang- orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lo-mo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lo-bo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mereka tidak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang juga merupakan murid-murid mereka. Perkumpulan itupun dinamakan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggauta atau muridnya berpakaian putih berkabung.

"Hemm, belum nampak seorangpun datang," kata Kui-kok Lo-mo dengan suara mengomel.

"Mereka itu memang bermalas-malasan kalau ada tugas pekerjaan, coba diberitahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan datang," omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali. 

Suami-isteri ini adalah dua di antara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian dari tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu.

Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam. Terdengar dari jauh sekali dan suami isteri yang tua ini saling pandang dan wajah mereka yang seperti mayat itu tidak memperlihatkan perobahan apapun, akan tetapi mata mereka bersinar- sinar.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang