Jilid 103

2.5K 29 0
                                    

Tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda remaja yang istimewa, bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia telah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan suami isteri itu tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, kalah matang ilmu silatnya. Dan mengingat bahwa Kui-kok Lo-mo den Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang tinggi ilmunya, tentu saja dikeroyok dua Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat. 

Andaikata suami isteri itu maju satu de-mi satu, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang. Akan tetapi begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat bekerja sama dengan baik sekali dalam serangan-serangan mereka, Ci Kang terdesak hebat dan lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mampu mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis, tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan tubuhnya sudah menerima beberapa hantaman den tendangan yang berkat kekebalannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan. 

Ci Kang yang keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari? Di situ terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga laripun, dalam keadaan terluka-luka, akan percuma saja. Dan diapun tahu bahwa tidak ada harapan baginya untuk lolos. Baru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apalagi kalau empat orang tokoh lain itu maju mengeroyok.

Melihat cara kedua orang suami isteri itu menyerang, dengan pukulan-pukulan maut, tahulah Ci Kang bahwa mereka itu menghendaki kematiannya, maka diapun membela diri sebaik mungkin dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat bukan main sepak terjang pemuda ini. Biarpun terdesak hebat, namun tidak mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja pemuda itu akan membalas serangan maut yang berbahaya.

Pada saat itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di belakang Ci Kang berdiri seorang kakek tinggi kurus. Kakek ini bajunya tambal-tambalan, tangan kanan memegang sebatang tongkat bambu kuning dan di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak). Kakek yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun ini memandang perkelahian sambil mengelus jenggotnya, lalu mengomel, "Terlalu, terlalu...! Suami isteri tua bangka mengeroyok seorang bocah ingusan. Sungguh terlalu...!"

Kemudian tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya sambil terus bicara, "Nah, anak baik, bagus begitu! Lawanlah, jangan mau kalah terhadap sepasang mayat itu. Pukul, nah, bagus, begitu haittt... begini... bagus!" Kakek jembel ini, seperti orang gila, lalu meniru-niru gerakan Ci Kang bersilat, akan tetapi karena tangannya memegang tongkat maka tongkatnya bergerak pula dengan lucunya. Dia bukan mengajari Ci Kang, melainkan menirukan gerakan Ci Kang yang berloncatan ke sana-sini mengelak dari serangan suami isteri itu.

Dan... terjadilah hal yang luar biasa sekali. Tiba-tiba saja suami isteri itu merasa betapa tangkisan tangan Ci Kang menjadi sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka nyeri dan tubuh mereka terpelanting! Ada angin pukulan dahsyat keluar dari kedua tangan Ci Kang. Pemuda ini sendiri merasa heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek jembel aneh itu telah membantunya dengan tenaga sakti yang luar biasa.

Sementara itu, empat orang tokoh Cap-sha-kui yang lain bukan orang- orang tolol. Kemunculan kakek jembel yang aneh ini dan terdesaknya suami isteri Kui-kok-san tentu ada hubungannya, pikir mereka. Tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu maju menyerang kakek jembel yang masih mencak-mencak menirukan gerakan Ci Kang karena kini suami isteri itu sudah menyerang lagi.

Hwa-hwa Kui-bo menyerang dengan pedangnya yang beracun, ditemani Koai-pian Hek-mo yang menggerakkan senjata-nya, yaitu sebatang pecut baja yang ujungnya berpaku. Kiu-bwe Coa-li meledakkan cambuk hitam ekor sembilan, menyerang dari depan bersama Thio-tee-kui yang menggerakkan kedua lengannya sehingga dua buah gelang emas yang berat di kedua lengannya itu saling beradu mengeluarkan bunyi nyaring. Dikepung empat orang tokoh sesat yang lihai ini, kakek jembel itu malah tertawa bergelak.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang