Jilid 76

1.3K 27 0
                                    

Akan tetapi pekik melengking yang dikeluarkan oleh seorang di antara dua murid Pek-liong-pai sebelum mereka tewas tadi, mengejutkan semua murid Pek-liong-pai. Pada waktu itu, di Lembah Naga terdapat tidak kurang dari empat puluh orang murid, terdiri dari tingkat pertama, kedua dan ketiga. 

Akan tetapi pada saat itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, ada pula yang berburu binatang sehingga pada pagi hari itu, yang berada di sekitar istana hanya ada dua puluh lima orang termasuk empat yang tewas itu. Dan di antara dua puluh lima orang ini, yang tingkat satu dan hanya menanti dinyatakan lulus hanya ada tiga orang, selebihnya adalah murid-murid tingkat dua dan tiga.

Kakek dan nenek itu menyeringai penuh ejekan ketika mereka melihat dua puluh orang murid Pek-liong-pai yang rata-rata mengenakan pakaian putih itu berdatangan dari segenap penjuru ada yang masih membawa cangkul, sapu dan lain-lain. Biarpun sudah melihat bahwa empat orang saudara mereka tewas dan pembunuhnya tentu kakek dan nenek itu, namun mentaati ajaran dan perintah guru mereka, dua puluh orang lebih murid- murid Pek-liong-pai itu tidak sembrono turun tangan mengeroyok, melainkan mengepung saja agar kakek dan nenek pembunuh itu tidak dapat melarikan diri. 

Tiga orang murid tingkat pertama yang berada di situ bertindak sebagai pemimpin. Mereka berdiri menghadapi kakek dan nenek itu, dan seorang di antara mereka yang usianya sudah hampir empat puluh tahun, melangkah maju dan memberi hormat.

"Siapakah locianpwe berdua dan apa kesalahan adik-adik seperguruan kami maka ji-wi locianpwe (dua orang gagah) turun tangan membunuh mereka dan kami terpaksa menuntut agar ji-wi suka menyerah dan menghadap ketua kami?"

Kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka kelihatan bergembira! Kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang jarang akan tetapi cukup panjang, tangan kanan memegang tongkat yang didirikan di depan kakinya, sedangkan nenek itupun tersenyum dan tangan kirinya bertolak pinggang.

"Ha-ha-ha, adinda yang baik, lihat, mereka ini semua sudah mengenakan pakaian berkabung, seolah-olah mereka sudah tahu bahwa hari ini mereka akan mati semua! Hayo kita berlomba, siapa yang dapat membunuh musuh paling banyak!" Setelah berkata demikian, nampak dua sinar berkelebat dan dua batang tongkat itu telah menyambar secepat kilat ke arah dua orang murid pertama Pek-liong-pai! 

Hebat bukan main serangan itu, akan tetapi kini yang diserang adalah murid-murid Pek-liong-pai yang sudah hampir tamat. Tentu saja dua orang itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan biarpun mereka kaget sekali, mereka berhasil menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang.

Maklum bahwa kakek dan nenek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka tiga orang murid pertama itu mencabut pedang mereka dan seorang di antara mereka memberi komando, "Kurung dan tangkap mereka untuk dihadapkan kepada suhu!" Suheng ini masih memperingatkan para sutenya agar jangan sembarangan turun tangan, membunuh kakek dan nenek itu!

Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Kakek dan nenek itu mengamuk dengan tongkat dan tangan kiri mereka. Entah mana yang lebih ampuh. Tongkat itu tidak dapat ditangkis. Senjata penangkis tentu patah dan kalau ujungnya mengenai tubuh, tentu tembus dan yang terkena tewas seketika. 

Akan tetapi tangan kiri mereka juga hebat bukan main, membawa getaran aneh yang tidak dapat ditangkis, hanya dapat dialakkan saja, itupun oleh para murid Pek-liong-pai yang cukup gesit. Para murid itu mempergunakan senjata seadanya. Yang memegang cangkul mempergunakan alat ini untuk senjata, ada yang menggunakan pedang mereka, ada pula yang terpaksa mengeroyok dengan tangan kosong. 

Dan akibatnya sungguh mengerikan. Kakek dan nenek itu menyebar maut sehingga dalam waktu singkat saja, di antara dua puluh lima orang murid, dikurangi empat orang yang tewas terlebih dahulu, kini tinggal sepuluh orang lagi saja! Lima belas orang murid sudah menggeletak tanpa nyawa, berserakan di tempat itu, termasuk seorang murid pertama!

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tahan senjata...!" 

Bentakan ini demikian penuh wibawa dan memiliki getaran khi-kang yang amat kuat sehingga kakek den nenek itu terkejut dan mereka meloncat ke belakang, melintangkan tongkat di depan dada lalu menatap ke depan.

Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong, telah berdiri di situ dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ketua Pek-liong-pai itu merasa ngeri melihat belasan orang muridnya telah tewas dan mayat mereka malang-melintang memenuhi tempat itu, sedangkan yang sepuluh orang lagi kelihatan pucat den gentar. Diapun memandang ke arah kakek den nenek itu yang juga memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Mereka menduga-duga siapa adanya laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan mempunyai wibawa yang amat kuat ini.

"Apakah engkau ketua Pek-liong-pai?" Kakek itu bertanya, matanya mengeluarkan sinar berapi.

Sinar mata yang penuh kebencian, pikir Han Tiong. Dia mengangguk. "Benar, dan siapakah ji-wi locianpwe? Andaikata ada murid kami yang bersalah, mengapa ji-wi begitu tega untuk membunuh begini banyak orang? Permusuhan apakah yang ada antara ji-wi dengan Pek-liong-pai?" Pertanyaannya tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tegas dan penuh nada teguran.

"Ha-ha-ha, masih begini muda sudah menjadi ketua. Siapakah namamu den benarkah engkau putera mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong?" kakek itu bertanya lagi.

Han Tiong mengerutkan alisnya. "Benar, locianpwe. Nama saya adalah Cia Han Tiong dan Pendekar Lembah Naga adalah mendiang ayah saya."

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang