"Kalian jalanlah sendiri-sendiri dan peganglah teguh semua ajaran yang telah kalian peroleh di sini. Akan tetapi jangan lagi sebut-sebut namaku atau Pek-liong-pang. Pek-liong-pang sudah bubar dan segala perbuatan kalian adalah urusan pribadi yang harus kalian pertanggungkan sendiri. Kalau ada yang bertemu dengan Cia Sun, beritahukan segalanya dan suruh dia pulang. Selanjutnya, aku tak mau diganggu dengan persoalan-persoalan dunia lagi."
Tentu saja para murid menjadi berduka. Akan tetapi mereka mengenal watak suhu mereka yang keras. Beberapa hari kemudian, Lembah Naga menjadi sunyi ditinggalkan semua murid Pek-liong-pang. Cia Han Tiong hidup menyendiri sebagai seorang pertapa!
Sui Cin yang menyamar sebagai se-orang pemuda jembel, merasa cocok dan senang sekali melakukan perjalanan bersama Hui Song. Pemuda ini berandalan, jenaka, gembira dan nakal, suatu sifat yang cocok dengan wataknya sendiri. Ke-tika ia melakukan perjalanan bersama Sim Thian Bu menuju ke telaga setelah gagal nonton pertemuan para pendekar yang urung diadakan, mula-mula iapun merasa cocok.
Sim Thian Bu seorang pemuda ganteng pesolek yang pandai memikat hati. Akan tetapi, baru sehari melakukan perjalanan bersama, ia sudah melihat bahwa keramahan pemuda itu pura-pura dan pandang matanya, tutur sapanya, semakin berani mengarah cabul. Maka, pada malam harinya ketika mereka bermalam di rumah penginapan, diam-diam Sui Cin meninggalkan tanpa pamit. Ia lalu menyamar sebagai pemuda jembel yang merantau sendirian, bebas gembira sampai ia bertemu dengan Hui Song.
Seperti telah kita ketahui, Sui Cin yang menyamar sebagai pemuda jembel melakukan perjalanan dengan Hui Song menuju ke kota raja. Ia mengatakan hendak mencari encinya! Dan Hui Song juga pergi ke kota raja dengan dalih hendak menyelidiki Hwa-i Kai-pang yang bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Padahal sesungguhnya dia ingin sekali berkenalan dengan enci dari pemuda jembel itu yang ternyata adalah dara yang pernah dijumpainya dan yang amat menarik hatinya itu.
Di sepanjang perjalanan, keduanya merasa cocok sekali. Akan tetapi setiap kali malam tiba, Sui Cin tidak pernah mau diajak bermalam di rumah penginapan, melainkan mengajak bermalam di kolong-kolong jembatan atau di emper-emper toko! Ketika Hui Song memprotes, Sui Cin menjawab.
"Song-twako, engkau tahu bahwa aku sudah biasa hidup sebagai pengemis. Maka, akupun lebih leluasa tidur di kolong jembatan daripada di kamar hotel. Kalau engkau mau tidur di hotel, silakan. Aku di emper toko sini saja."
Hui Song terpaksa menurut biarpun dia mengomel karena dia tahu bahwa pemuda ini bukan jembel asli melainkan putera Pendekar Sadis yang kaya raya dan suka membagi-bagi uang pada para jembel! Dia tidak tahu bahwa Sui Cin sendiri jarang tidur di tempat kotor itu. Kalau sekarang ia memilih tidur di emper adalah untuk menghindari tidur sekamar dan seranjang dengan Hui Song!
Pada suatu malam mereka terpaksa tidur di bawah pohon dalam sebuah hutan. Kota raja sudah dekat dan hawa udara malam itu dingin sekali. Melihat betapa pemuda jembel itu tidur meringkuk kedinginan, Hui Song membesarkan api unggun. Akan tetapi agaknya masih belum cukup dapat mengusir dingin, bahkan dalam tidurnya Sui Cin agak menggigil. Karena khawatir kalau-kalau pemuda jembel itu jatuh sakit, Hui Song melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh Sui Cin yang sudah tidur nyenyak.
Akan tetapi, pemuda jembel itu masih kelihatan meringkuk kedinginan sedangkan Hui Song sendiri setelah menanggalkan jubahnya juga merasa dingin sekali. Maka dia lalu merebahkan dirinya dekat Sui Cin dan untuk mengurangi rasa dingin bagi mereka berdua, dia lalu merangkul tubuh Sui Cin merapatkan diri. Benar saja, dia merasa hangat dan nyaman. Juga Sui Cin mengeluarkan suara lega. Akan tetapi hanya sebentar saja karena tiba-tiba Sui Cin meronta dan siku lengannya menyodok ke belakang.
"Hekk...!" Hui Song merasa dadanya sesak karena tersodok siku dan dia memandang terbelalak kepada Sui Cin yang sudah meloncat berdiri. Pemuda jembel itu bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah sekali.
"Apa... apa yang kaulakukan tadi?" bentaknya.
Hui Song bangkit duduk termangu-mangu, keheranan. "Apa...? Mengapa...? Aku tidak apa-apa..." jawabnya bingung. "Kenapa engkau... memelukku tadi?"
Hui Song mengangkat alis dan pundaknya. "Agar kita berdua tidak kedinginan. Cin-te, engkau sungguh aneh, apa salah-nya kalau aku memelukmu?"
Baru Sui Cin sadar akan keadaannya, akan penyamarannya. Iapun duduk dekat api unggun. "Maaf, Song-twako. Engkau mengagetkan aku yang sedang tidur dan... dan engkau mengingatkan aku akan pengalaman tidak enak beberapa bulan yang lalu ketika tadi engkau merangkul aku."
"Pengalaman apakah, Cin-te? Kurasa tidak ada salahnya dua orang laki- laki yang sudah bersahabat saling merangkul." Hui Song mengomel karena dadanya masih terasa memar.
"Ada seorang pria yang juga merangkulku... ihh, aku masih jijik dan ngeri membayangkan perbuatannya itu!"
"Aih, engkau seperti wanita saja, Cin-te. Apa salahnya laki-laki itu merangkulmu kalau memang dia sahabatmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Berdarah
RomanceLanjutan Siluman Gua Tengkorak Kisah Cinta dua pasang muda mudi yang penuh dengan konflik dan pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang di harapkan, siapakah pasangan muda mudi yang bertualangan cinta...