Jilid 74

1.4K 25 0
                                    

"Cinta kasih? Cinta kasih terhadap kaum sesat yang jahat seperti iblis...?" Isterinya bertanya, kaget sendiri akan kenyataan sikap suaminya yang dianggap tak masuk akal ini.

Suaminya menggeleng kepala. "Bukan terhadap golongan tertentu. Melainkan cinta kasih antara manusia. Dan manusia itu siapa saja, tidak memilih golongan. Dengan dasar ini, maka mereka yang merasa bersih itu bertindak dengan dasar menyadarkan, membersihkan, membimbing ke arah yang benar."

Ciu Lian Hong bangkit berdiri. Pusing ia kalau sudah bicara tentang kehidupan dengan suaminya. Pandangan suaminya berbeda dengan umum, karena itu kadang-kadang membingungkannya. "Ah, kalau saja Cia Sun pulang..." katanya dan iapun berdiri di depan serambi, memandang ke depan, jauh ke arah hutan yang membentang luas di depan istana Lembah Naga. Suaminya juga bangkit lalu menghampiri isterinya, berdiri di samping isterinya.

"Hong-moi, aku tahu bahwa engkau ingin sekali melihat Sun-ji menikah dan engkau ingin sekali menimang cucu. Biarlah kalau dia pulang aku akan bicara mengenai hal itu dan secepatnya aku akan mencari adik Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah..."

Ciu Lian Hong menoleh kepada suaminya, "Jangan dulu, suamiku. Biarkanlah anak kita itu meluaskan pengalamannya. Siapa tahu dia akan bertemu sendiri dengan calon jodohnya. Dalam perjodohan, kita tidak boleh memaksa dan memperkosa hatinya. Biarkan dia memilih jodohnya sendiri. Setujukah engkau, suamiku?" Berkata demikian, isteri yang mencinta suaminya itu menaruh tangannya di pundak suaminya, menggelendot dan bersandar pada pundak suaminya yang kuat dengan sikap manja dan mesra.

Han Tiong menahan senyumnya dan menarik napas panjang sambil merangkul isterinya yang tercinta. Selalu isterinya mengatakan demikian kalau dia bicara tentang niat hatinya menjodohkan Cia Sun dengan puteri Ceng Thian Sin. Siapa lagi nama anak perempuan Ceng Thian Sin, anak perempuan yang ketika kecilnya sudah nampak bengal dan berwatak keras itu? Ceng Sui Cin, ya, begitulah namanya. Pernah anak itu ikut ayahnya ketika berkunjung kira-kira sepuluh tehun yang lalu! Dan dia tahu betul mengapa isterinya kelihatan tidak setuju dan tidak rela menjodohkan Cia Sun dengan Ceng Sui Sin. Bukan karena anak perempuan itu sendiri karena mereka berdua belum tahu bagaimana keadaan anak perempuan itu sekarang setelah dewasa. 

Akan tetapi, isterinya itu terutama sekali merasa enggan untuk berbesan dengan Pendekar Sadis! Hal ini tidaklah aneh karena di waktu masih gadis dulu, hubungan antara Lian Hong dan Thian Sin erat sekali. Bahkan dia tahu benar betapa Thian Sin pernah mencinta Lian Hong setengah mati, dan seolah- olah terjadi perebutan di dalam hatinya antara dia dan Thian Sin terhadap Lian Hong. Dia bersedia mengalah, akan tetapi akhirnya ternyata bahwa Lian Hong memilih dia dan menjadi isterinya, sedangkan Ceng Thian Sin menikah, atau lebih tepat, hidup bersama sebagai suami isteri dengan Toan Kim Hong. Satu di antara sebab yang membuat Lian Hong memilihnya adalah karena Thian Sin berwatak kejam, bahkan menjadi Pendekar Sadis yang ditakuti orang. 

Hubungan itulah, dan watak Thian Sin yang kejam sebagai pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis itulah yang membuat Lian Hong kini berkeberatan untuk menjodohkan puteranya dengan puteri Pendekar Sadis. Jadi, bukan gadis itu yang memberatkan hatinya, melainkan ia tidak mau berbesan dengan Thian Sin!

Pada pagi hari itu, dari luar hutan yang menjadi batas terakhir dari Lembah Naga, nampak seorang kakek dan seorang nenek berjalan memasuki hutan. Kakek dan nenek itu tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan melihat keadaannya, mereka itu seperti seorang kakek dan seorang nenek petani biasa saja. Keduanya berjalan dibantu oleh tongkat mereka. Kakek itu bertongkat hitam den si nenek bertongkat putih. Baju mereka longgar dan kepala mereka dilindungi caping lebar dari kulit bambu. Ketika mereka tiba di tengah hutan itu dan melihat ada gundukan besar dari tiga batu bertumpuk, mereka berhenti, termenung sejenak.

"Benar di sinilah tempat itu, kanda?" tanya si nenek dengan suara halus dan penuh kemesraan sambil memandang gundukan tiga bongkah batu bertumpuk itu. 

Kalau menggunakan tenaga orang biasa, agaknya akan dibutuhkan puluhan orang untuk mengangkat den menumpuk tiga buah batu besar yang amat berat itu.

"Benar, adinda. Di sinilah. Lihat di permukaan batu paling bawah, bukankah di situ masih ada tulisannya?" jawab si kakek. 

Mereka berdua memandang tulisan huruf asing di atas permukaan batu paling bawah.

TEMPAT GUGURNYA BIBI GURU HEK-HIAT MO-LI

"Tidak salah lagi, suhu kita yang menumpuk tiga bongkah batu ini untuk memperingati kematian nenek guru Hek-hiat Mo-li. Ahh, tenaga suhu sudah begini hebat akan tetapi tidak mampu mengalahkan musuh," berkata lagi si nenek.

"Jangan keliru. Pada waktu itu, suhu hanya memiliki tenaga yang kuat saja akan tetapi belum menyempurnakan Ilmu Im-kan Sin-hoat (Ilmu Sakti Akhirat), dan sekarang setelah berhasil menyempurnakan ilmu itu, suhu kehabisan tenaga dan meninggal dunia sebelum dapat mencari ke sini."

"Engkau benar, kanda. Untunglah bahwa dia telah mewariskan ilmu itu kepada kita dan setelah kita melatih diri dengan sempurna, kini tiba saatnya bagi kita untuk membalas dendam kepada Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"

"Mau keturunannya, atau muridnya, akan kita gempur dan basmi sampai habis ke akar-akarnya!"

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang