Jilid 83

1.4K 26 0
                                    

Sambil berkata demikian, kakek ting-gi kurus yang bajunya penuh tambalan inipun menjura dari belakang Han Tiong dan pendekar ini merasa betapa ada tenaga mujijat mendorong kekuatannya sendiri dari belakang dan menolak tenaga dorongan kakek tinggi besar itu.

Sementara itu, seorang murid Pek-liong-pang yang tidak tahu akan adanya adu tenaga sakti itu, mengira bahwa dua orang kakek itu memang tamu yang hendak bersembahyang, lalu menyalakan beberapa batang hio dan dengan sikap hormat menyerahkan dupa lidi membara itu kepada kedua orang kakek, masing-masing tiga batang. 

Agaknya murid yang tak tahu gelagat ini menganggap bahwa dua orang kakek itu adalah sahabat-sahabat suhunya, karena dia memang tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak sekali orang-orang yang berwatak aneh. Dia tidak menyadari bahwa di antara kedua orang kakek itu diam-diam telah terjadi adu tenaga sakti yang seru!

Dua orang kakek itu tersenyum-senyum menerima tiga batang hio. Kakek bercambang bauk lalu bersembahyang di depan meja dan asap dari tiga batang hio yang dipegangnya itu tiba-tiba meluncur ke depan dan mengeluarkan suara mendesis seperti tiga ekor ular yang hendak menyerang Han Tiong dan kakek jembel! Barulah para murid Pek-liong-pang terkejut. Juga Han Tiong terkejut sekali, dan dia siap mengelak atau menangkis serangan asap hio itu. 

Akan tetapi pada saat itu, asap dari tiga batang hio di ta-ngan kakek jembel juga meluncur ke depan, menyambut tiga jalur asap pertama. Terjadilah pemandangan yang amat yang amat menarik, aneh dan menegangkan. Dari satu pihak terdapat tiga jalur asap dan kini enam jalur asap itu bergulung, saling belit, saling dorong, seperti enam ekor ular sakti bermain-main di angkasa! Pengendalinya adalah dua orang kakek itu yang berdiri memegangi tiga batang hio. Anehnya, bara api pada hio-hio itu amat besar nyalanya seperti ditiup terus-menerus sehingga tak lama kemudian hio-hio itupun habis terbakar dan padam. Ular-ular asap itupun membuyar dan per- tandingan berhenti.

"Ha-ha-ha! Si jembel pemabok ternyata semakin kuat saja!" kakek tinggi besar tertawa gembira.

"Dan engkau orang gunung liar sema-kin binal saja!" kakek jembel itupun ter-tawa.

"Kau masih menganggap kelemahan orang she Cia ini benar?" tanya kakek tinggi besar.

"Tentu saja! Hidup haruslah bebas, baru dapat menikmati hidupnya!" kata kakek jembel.

"Huh! Hidup tanpa adanya sesuatu yang mengikat, lalu apa artinya? Tiada isi, hampa belaka!" kata kakek tinggi besar.

"Itu pendapatmu! Hidup harus bebas dari pendapat..."

"Ha-ha, jembel mabok! Ucapanmu itu-pun merupakan suatu pendapat, bukan?"

Wajah kakek jembel itu berobah merah dan sejenak dia seperti kebingungan. "Sudahlah!" dia mengetukkan tongkat bambunya di atas lantai. "Kita bukan nenek-nenek bawel yang suka berdebat. Kalau engkau ingin mengadu kepandaian, hayoh! Di manapun dan kapanpun akan kulayani. Sudah lama tongkatku tidak pernah menggebuk anjing tinggi besar dari gunung!"

Akan tetapi kakek tinggi besar yang disindir itu hanya tertawa. "Engkau tahu bahwa ucapanmu itu hanya gertak sambal! Akupun tahu bahwa aku takkan mudah mengalahkan engkau jembel busuk. Kita sudah semakin tua, tiada gunanya membuang tenaga sia-sia. Mari kita berlomba membuktikan kebenaran filsafat lemah pengecut dari orang she Cia ini!"

"Baik, bagaimana caranya?"

"Kita didik murid menurut cara masing-masing, engkau boleh mencontoh filsafatnya dan aku sebaliknya. Tiga tahun kemudian kita adu murid kita!"

"Baik!"

Kedua orang kakek itu lalu berkelebat lenyap! Cia Han Tiong cepat menjura dan mencoba menahan. "Ji-wi locianpwe, harap duduk dulu...!"

"Ha-ha!" Terdengar suara kakek jembel. Kau mau tahu. Aku hanya jembel tua Ciu-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Arak)!"

"Dan aku adalah Go-bi San-jin (Orang Gunung Gobi)!" terdengar suara kakek tinggi besar. Suara mereka terdengar dari jauh sekali, dan dari dua jurusan!

Cia Han Tiong duduk kembali, menarik napas panjang dan menghapus keringatnya.

"Suhu, siapakah dua orang aneh itu?" tanya seorang murid.

Han Tiong menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Sungguh aku seorang yang harus malu melihat kepandaian sendiri tiada artinya dibandingkan mereka itu. Melihat sin-kang mereka, agaknya mereka memiliki tingkat yang tak kalah tingginya dibandingkan tingkat mendiang ayahku sendiri! Dan mereka itu jauh lebih lihai daripada Hek- hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Namun, baik kedua Lo-mo dan Lo-bo maupun kedua kakek tadi, sama sekali tak terkenal di dunia kang-ouw! Terbuktilah kini bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, jauh lebih pandai daripada orang yang terkenal!"

"Apakah maksud kedatangan mereka itu, suhu?"

"Entahlah. Entah ada hubungannya dengan kemunculan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo itu atau tidak. Akan te-tapi, kalau orang-orang sakti seperti mereka muncul, biasanya tentu akan terjadi hal-hal yang penting."

Setelah mengubur peti-peti jenazah itu, Han Tiong lalu membubarkan Pek-liong-pang! Dia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Peristiwa yang terjadi baru-baru ini membuka matanya bahwa memperkuat diri sendiri dan kelompoknya berarti mengundang datangnya lawan yang tak mau kalah kuat.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang