Jilid 86

1.4K 29 0
                                    

Kakek yang mengisap huncwenya mengepulkan asap sehingga tercium bau yang harum memuakkan. "Hemm, sebaliknya diselidiki benar-benar siapa pemuda jembel yang membagi-bagi uang itu. Sungguh kedengaran aneh sekali."

"Kalian tak perlu khawatir," kini kakek buruk rupa yang memegang tongkat berkata. "Kewajiban kita hanyalah menjaga kota raja dan sekitarnya, bekerjasama dengan pasukan pemerintah, mencegah pengaruh buruk mendekati sri baginda. Peristiwa di Cin-an itu membuktikan adanya kerja sama yang baik antara anak buah kita dengan pasukan pemerintah. Itu sudah cukup menguntungkan kita. Rakyat melihatnya dan kita tentu semakin ditaati sebagai pembantu pemerintah."

"Akan tetapi, Lo-eng (Pendekar Tua), dua pemuda itu kabarnya lihai sekali. Kalau tidak dicari dan dibasmi, bisa berbahaya, kelak hanya akan mendatangkan kesulitan," kata si gendut.

Mendengar percakapan itu, Sui Cin mengepal tinju. Ingin ia turun dan mengamuk, menghajar mereka, terutama si perut gendut. Akan tetapi agaknya Hui Song dapat merasakan gerakannya. Pemuda itu menyentuh tangannya dan berbisik, "Hati-hati ada orang datang!"

Tiba-tiba ada dua bayangan berkelebat. Sui Cin terkejut bukan main karena bayangan itu memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan, tanda bahwa mereka mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Untung Hui Song telah mengetahui keadaan mereka lebih dulu sehingga ia tak jadi turun tangan.

Bagaikan dua ekor burung, bayangan dua orang itu sudah melayang turun memasuki ruangan itu. Empat orang yang sedang bercakap-cakap itu terkejut dan berlompatan berdiri, siap menggempur musuh. Sepasang orang muda yang mengintai di atas melihat betapa gerakan mereka hebat, membayangkan kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika empat orang itu mengenal kakek dan nenek yang muncul seperti iblis itu, wajah mereka menjadi girang. Kakek bertongkat yang menjadi ketua Hek-i Kai-pang, yaitu yang menamakan diri Hwa-i Lo-eng, cepat menjura dengan hormat.

"Aih, kiranya Kui-kok Pang-cu berdua yang datang berkunjung! Selamat datang dan silakan duduk!" Juga tiga orang kakek yang menjadi pembantu-pembantunya memberi hormat.

Kakek dan nenek itu adalah Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, sepasang suami isteri yang berpakaian putih-putih dan bermuka pucat seperti mayat itu. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan karena Cap-sha-kui juga sudah diperalat oleh Liu-thaikam, seperti halnya Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka terhitung rekan dan saling mengenal.

Melihat betapa kakek dan nenek yang bermuka putih pucat itu masih berdiri saja, ketua Hwa-i Kai-pang kembali mempersilakan mereka duduk. "Ji-wi, silakan duduk."

"Nanti dulu, Kai-pang-cu, kami menanti munculnya tamu lain!" Lalu Kui- kok Lo-bo melambaikan tangan ke atas sambil membentak, "Apakah kau masih juga belum mau turun?"

Sui Cin terkejut sekali, mengira bahwa ialah yang disuruh turun karena nenek bermuka pucat itu memandang ke arah tempat ia bersembunyi. Tentu saja ia tidak takut dan hendak turun. Akan tetapi kembali Hui Song mencegahnya dan memegang lengannya. Dan pada saat itu terdengarlah bunyi ledakan cambuk disusul melayangnya seorang nenek bongkok kurus ke dalam ruangan itu. Kiranya Kui-bwe Coa-li, satu di antara Cap-sha-kui yang dimaksudkan oleh kakek dan nenek iblis itu!

"Hi-hik, matamu masih tajam sekali Lo-bo?" Kui-bwe Coa-li berkata dengan nada mengejek.

"Coa-li, untuk mengetahui kehadiranmu, tak memerlukan ketajaman mata, cukup mencium bau yang amis seperti ular itupun cukuplah, ha-ha-ha!" Kui-kok Lo-mo mengejek.

"Huh! Hidung kerbau ini masih besar kepala juga!" Nenek iblis itu balas memaki. Tidaklah aneh sikap antara para iblis Cap-sha-kui ini. Memang mereka adalah datuk-datuk sesat yang kasar.

Akan tetapi Hwa-i Lo-eng girang se-kali kedatangan tamu-tamu lihai ini. Dengan hormat dia mempersilakan mereka duduk di ruangan tanpa kursi itu. Lantai mengkilap bersih, maka mereka lalu duduk di lantai begitu saja. Ketua pengemis itu membunyikan genta kecil dan muncullah lima orang gadis cantik menyuguhkan arak dan daging.

"Ha-ha! Para pelayanmu cantik-cantik, Lo-eng!" kata Kui-kok Lo-mo sambil mencolek pinggul seorang di antara mereka.

Hui Song dan Sui Cin memandang dengan heran. Perkumpulan pengemis akan tetapi mempunyai pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik yang berpakaian indah seperti perkumpulan orang-orang bangsawan atau hartawan saja! 

Akan tetapi sepasang orang muda ini tetap mengintai dengan hati-hati karena mereka kini maklum bahwa datuk-datuk sesat dari Cap-sha-kui ternyata bersekongkol dengan Hwa-i Kai-pang dan agaknya mereka diperalat oleh pemerintah! Betapapun aneh kedengarannya, namun agaknya kenyataannya begitulah karena bukankah tadi ketua Hwa-i Kai-pang menyebut tentang adanya kerja sama antara mereka dan pemerintah?

Sambil makan minum, Kui-kok Lo-mo menceritakan maksud kedatangannya. "Sebagai sesama rekan, kami membuka rahasia kami. Kami menerima tugas untuk membunuh Jenderal Ciang."

"Ah...! Beliau adalah panglima kedua di kota raja! Bukan hal mudah untuk mendekatinya, apalagi membunuhnya!" kata kakek yang mengisap pipa tembakau.

Hui Song dan Sui Cin juga kaget bukan main! Dan mereka merasa bingung. Para datuk sesat ini bekerja sama dengan pemerintah, akan tetapi mengapa iblis muka pucat mendapat tugas membunuh Jenderal Ciang, panglima kedua dari kerajaan? Sungguh sukar dimengerti. Akan tetapi mereka mendengarkan terus.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang