Jilid 102

2.7K 41 0
                                    

"Kalau bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat membunuh orang! Apa yang akan kaulakukan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan ibumu, melainkan keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."

Getaran dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu timbul karena dia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan rasa senang di hatinya.

"Baiklah, ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan. Akan tetapi apakah yang telah terjadi? Apakah kesalahan ibu maka ia sampai dibunuh orang?"

Cia Han Tiong menarik napas panjang. "Dendam... dendam... balas- membalas, baik membalas budi maupun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang karena dendam kepada keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, ibumu dan belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu tentang mereka itu, anakku? Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian hati mereka saja dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal?"

Cia Sun mengepal tinju dan mengangguk. "Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.

"Bagus!" kata ayahnya. Dan sekarang engkaupun ingin menjadi seperti mereka, hendak mencari orang-orang yang tidak kaukenal untuk kaubunuh hanya untuk memuaskan nafsu kebencianmu?"

Cia Sun terkejut, tak mengira bahwa ke situ maksud ayahnya. "Tapi, ibu telah mereka bunuh, juga para suheng!"

"Rasa penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam dan bunuh-membunuh, menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu, terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas-membalas tiada akhirnya? Mata rantai itu kini berada di tanganmu, mau kaupatahkan ataukah mau kausambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau mendendam, mencari pembunuh ibu dan para suhengmu, kemudian engkau membunuh mereka. Apakah kau kira sudah selesai sampai di situ saja? Kalau murid atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, merekapun akan mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau keturunanmu. Terus-menerus begitu, tiada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan menghapus dendam sekarang juga dan rantai belenggu itupun patah."

Cia Sun termenung, lalu menarik napas panjang. "Ayah, dari ajaran ayah yang lalu, aku dapat mengerti akan penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu saja?"

"Andaikata engkau berada di sini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela ibumu dan suheng-suhengmu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah wajar. Akan tetapi, menanam kebencian dalam hati merupakan racun bagi batin sendiri, anakku."

"Biarkan aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal mulanya."

"Mereka yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka adalah cucu murid dari mendiang mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua datang jauh dari negeri Sailan untuk mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas den-dam. Akan tetapi karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku sekeluarga. Dan dalam perkelahian itu, para suhengmu dan ibumu jatuh sebagai korban dan tewas."

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang