Jilid 11

2K 34 0
                                    

Dengan gelisah, marah dan tegang, Thian Kong Hwesio, Hai Cu Nikouw dan para perwira menjaga terus mengepung menara. Mereka merasa penasaran karena sampai lewat tengah malam, dua iblis itu belum juga keluar dari dalam menara. Menjelang pagi, Thian Kong Hwesio dan sumoinya dengan kaget melihat berkelebatnya sesosok bayangan ke arah menara. Mereka cepat memberi isyarat dan semua anggauta pasukan siap. 

Dua orang pendeta itu terheran-heran. Mereka melakukan penjagaan dan mengharapkan dua orang jahat itu keluar dari menara, mengapa kini ada bayangan berkelebat den agaknya malah menuju ke menara! Dan bagaimanakah bayangan ini dapat melalui semua penjagaan yang demikian ketatnya? Mereka berdua saling pandang dan bingung, juga merasa ngeri karena melihat munculnya demikian banyak orang yang memiliki kepandaian hebat.

Tiba-tiba para penjaga itu mendengar suara hiruk-pikuk dan bentakan- bentakan yang keluar dari dalam menara, bahkan kini ada sinar lilin bernyala di dalam kamar. Dari luar, nampak di balik tirai jendela bayangan orang-orang berkelahi dengan gerakan yang amat cepatnya!

Apakah yang sesungguhnya telah terjadi dalam kamar itu? Apakah kedua orang anggauta Cap-sha-kui itu kambuh kembali penyakit mereka dan saling berhantam sendiri? Sama sekali tidak demikian. Keadaan di dalam kamar tadi masih gelap dan sunyi, seolah-olah orang-orang yang berada di dalamnya sudah tidur nyenyak. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara perlahan dan daun pintu terbuka dari luar, sesosok bayangan menyelinap masuk lalu terdengar suara seorang wanita menegur dengan suara mengejek.

"Huhh, tua bangka-tua bangka yang tidak tahu malu! Perbuatan hina kalian sungguh terkutuk dan akan menyeret kalian ke neraka jahanam!"

Yang pertama-tama bergerak adalah cambuk panjang Koai-pian Hek-mo. Terdengar suara meledak ketika cambuk panjang itu melecut dan menyambar ke arah datangnya suara wanita yang menegur mereka tadi. Akan tetapi, sebelum mengenai sasarannya, ujung cambuk itu membalik kepadanya dan tentu saja Koai-pian Hek-mo menjadi kaget sekali. 

"Siapa kau...?" bentaknya. 

Jawabannya hanya suara ketawa merdu seorang wanita.

Di dalam kegelapan, Hwa-hwa Kui-bo agaknya dapat menangkap gerakan serangan cambuk tadi dan dapat menduga bahwa serangan kawannya itu gagal. Maka iapun menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum beracun kini menyambar ke arah suara ketawa wanita itu. 

Akan tetapi, terdengar suara berkerintingan dan jarum-jarum itu runtuh semua ke atas lantai, tanda bahwa yang diserangnya telah dapat menangkis semua jarum itu di dalam gelap! Melihat kenyataan ini, Hwa-hwa Kui-bo cepat menyalakan api dan tak lama kemudian lilin besar di sudut itupun sudah bernyala dan sinar terang memenuhi kamar itu, mengusir kegelapan. 

Dua orang tokoh iblis itu sudah meloncat berdiri dan memandang dengan heran ketika mereka melihat bahwa yang berani mengganggu dan mengejek mereka hanyalah seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dengan potongan tidak karuan! Seorang gadis remaja yang usianya antara lima belas atau enam belas tahun dengan rambut dikuncir menjadi dua, sepasang matanya lincah bersinar, mulutnya mengulum senyum mengejek. Tentu saja mereka berdua tidak memandang sebelah mata kepada anak perempuan ini. Mereka berdua hanya suka kepada pemuda-pemuda remaja tampan, dan tidak suka, bahkan membenci wanita-wanita muda yang cantik. Maka kini merekapun memandang dengan sinar mata penuh kemarahan ke-pada gadis itu.

Melihat bahwa yang datang hanya seorang dara remaja yang sempat membuat mereka terkejut, kedua orang tokoh besar itu merasa malu dan terhina. Perasaan ini tumbuh menjadi kemarahan dan kebencian, maka tanpa banyak cakap lagi Hwa-hwa Kui-bo sudah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah perut dara itu sedangkan tangan kirinya membentuk cakar dan langsung mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan! 

Sungguh merupakan serangan gabungan yang amat hebat bagi seorang dara remaja seperti itu. Biarpun hanya tangan kosong, harus diakui bahwa cengkeraman itu bahkan lebih mengerikan dan lebih berbahaya dari-pada tusukan pedang.

Akan tetapi, nenek yang sudah merasa yakin bahwa satu di antara kedua tangannya yang melakukan serangan itu pasti akan memperoleh hasil, berteriak kaget ketika melihat betapa dara itu dengan lincah dan ringannya telah memiringkan tubuh mengelak dari tusukan pedang, sedangkan tangan kiri yang mencengkeram itu disambutnya dengan tamparan tangan terbuka.

"Plakkk!!" 

Dan tubuh nenek berkedok itu terhuyung ke belakang, tubuhnya terasa panas dan kaku seperti kemasukan hawa yang amat kuat dan aneh!

"Ihhh...!" 

Nenek itu berseru dan bergidik karena baru sekarang ia merasakan akibat yang demikian anehnya ketika tangannya bertemu dengan tangan lawan, apalagi lawannya hanya seorang bocah!

Maklum bahwa bagaimanapun juga, dara remaja itu ternyata memiliki kepandaian hebat, Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuknya yang meledak den menyambar secara bertubi-tubi, sekali bergerak telah mematuk ke arah tiga jalan darah di bagian depan tubuh dara itu yang kesemuanya merupakan patukan mematikan.

"Ting-ting-cringggg...!" 

Tiga kali ujung cambuk yang ada pakunya itu terpental dan yang ketiga kalinya bahkan terpental keras dan menyambar ke arah muka pemegang cambuk itu sendiri! Tentu saja Koai- pian Hek-mo terkejut dan cepat menarik kembali cambuknya agar paku di ujung cambuk tidak mematuk hidungnya sendiri. 

Kini, dua orang tokoh besar dunia hitam itu terbuka matanya. Dengan hati-hati merekapun menyerang dari kanan kiri. Namun, dara itu melayani mereka dengan tangan kosong saja! Begitu ringan gerakan tubuhnya, bagaikan sehelai bulu saja yang sukar sekali diserang, seolah-olah diterbangkan oleh gerakan senjata-senjata mereka sehingga sebelum senjata mengenai sasaran, tubuh itu sudah mendahului pergi.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang