Jilid 27

1.7K 35 0
                                    

"Benar, dan engkau sendiri, Cin-moi?"

"Akupun hendak berkunjung ke sana."

"Mewakili orang tuamu?"

"Tidak. Sudah setengah tahun aku meninggalkan Pulau Teratai Merah. Hanya kebetulan dalam perjalanan aku mendengar tentang rencana pertemuan itu maka aku sengaja hendak menonton. Dan engkau?"

"Aku mewakili Pek-liong-pang, mewakili ayah."

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak enak kalau kemalaman dalam hutan. Apalagi bau bangkai ular-ular itu amat busuk."

"Baiklah, Cin-moi. Kaunaiki saja kudamu, biar aku jalan kaki. Kita dapat bercakap-cakap di perjalanan."

Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sui Cin menunggang kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelahnya. Malam telah tiba dan cuaca mulai gelap ketika mereka keluar dari dalam hutan. Karena tidak nampak dusun di dekat situ, keduanya terpaksa melewatkan malam di tepi hutan. Mereka membuat api unggun dan Sui Cin mengeluarkan bekal roti dan daging keringnya, sedangkan Cia Sun mengeluarkan bekal araknya yang masih seguci penuh. Setelah makan sekedarnya untuk menghilangkan rasa lapar dan haus, keduanya duduk menghadapi api unggun dan melanjutkan perca-kapan mereka.

"Sun-ko, sudah banyak sekah aku mendengar tentang orang tuamu, terutama sekali tentang ayahmu. Ayahku tiada bosannya mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar terbesar di dunia ini dan ayahmulah satu-satunya orang yang amat dihormati ayahku."

Cia Sun menghela napas. "Di antara ayah kita berdua memang terjalin pertalian persaudaraan yang amat kuat, melebihi saudara sekandung. Ayahku juga tiada bosannya membicarakan ayahmu dan seringkali dia mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar yang paling lihai dan satu- satunya orang yang amat disayang oleh ayahku."

"Kalau begitu, orang tua kita memiliki pertalian persaudaraan yang amat erat, dengan sendirinya kitapun dapat dibilang masih keluarga sendiri, bukan?"

"Begitulah, siauw-moi."

"Ih, jangan sebut aku siauw-moi (adik kecil), aku tidak kecil lagi, Sun-ko. Usiaku sudah lima belas tahun!"

"Lima belas tahun masih kecil namanya."

"Siapa bilang? Bagi seorang wanita, usia itu sudah berarti dewasa."

"Baiklah, maafkan aku. Aku akan menyebutmu Cin-moi saja."

"Maaf-maafan segala, engkau terlalu sungkan, Sun-ko. Kalau aku tidak salah ingat, engkau lebih tua lima tahun dari-pada aku."

"Tujuh tahun. Usiaku sekarang sudah dua puluh dua tahun."

"Engkau tentu sudah menikah..."

Perkataan ini membuat Cia Sun terkejut den tertegun sejenak tak dapat menjawab karena bagi seorang pendiam dan sopan serta serius seperti dia, tak pernah terbayangkan akan menerima pertanyaan seperti itu dari seorang gadis yang pernah membuat dia tidak mampu tidur nyenyak semalam suntuk. Akan tetapi ketika dia memandang dan mereka bertemu pandang, dia tidak melihat sesuatu dalam sinar mata gadis itu melainkan kejujuran dan pertanyaan yang terbuka tanpa perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Maka diapun menggeleng. "Kenapa engkau menyangka demikian?"

"Karena usiamu sudah dua puluh dua tahun."

"Siapa yang mau menjadi isteri orang seperti aku ini, Cin-moi?"

Sui Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu, melihat betapa wajah itu tiba-tiba dibayangi kemurungan. Wajah yang gagah, walaupun tidak terlalu tampan, akan tetapi wajah yang berwibawa, gagah dan membayangkan kejujuran. Wajah seorang pendekar yang perkasa. Akan tetapi pada saat itu, kegagahannya tertutup awan mendung sehingga menggelikan hatinya dan tiba-tiba Sui Cin tertawa, sekali ini lupa menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan gigi putih dan rongga mulut yang merah sekali seperti dibakar warna api unggun, dan ujung lidahnya nampak sebentar. Mulut itu tertutup kembali dan Sui Cin memandang kepada api unggun.

Cia Sun kebingungan, merasa ditertawakan, mencari-cari kesalahan apa yang terkandung dalam ucapannya, kelucuan apa sehingga dari itu tertawa. Karena tidak dapat menemukan, diapun bertanya, "Cin-moi, kenapa engkau tertawa?"

Sui Cin masih nampak termenung sambil menatap api unggun, kemudian bicara, seperti bicara kepada api unggun, suaranya lirih, satu-satu dan jelas, "Dia seorang pendekar perkasa berkepandaian tinggi, putera ketua Pek-liong-pang penghuni Lembah Naga yang amat terkenal, disegani kawan ditakuti lawan dan dia bertanya siapa yang mau menjadi isteri seorang seperti dia! Padahal, gadis-gadis dari semua penjuru akan berbondong-bondong datang berlomba untuk dapat menjadi jodohnya."

Wajah pendekar itu berobah merah. "Ah, Cin-moi, harap jangan memperolok..."

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang