Jilid 30

1.7K 37 0
                                    

Sementara itu, pemuda bercaping agaknya tidak pernah melihat kedatangan Sui Cin dan Cia Sui, karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi oleh lawannya. Namun semua serangan dapat dihindarkannya dengan baik dan tiba-tiba dia membuat gerakan cepat sekali dengan kakinya.

"Hyaaat! Robohlah!"

Dan seperti mentaati perintah pemuda bercaping itu, tiba-tiba saja lawannya itu roboh terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena tendangan si pemuda telah membuat sambungan lutut kanannya terlepas.

Tendangan yang hebat tadi dapat dilihat jelas oleh Cia Sun dan Sui Cin dan mereka kembali merasa kagum. Itu adalah semacam ilmu tendang yang amat berbahaya, pikir mereka. Kini pemuda itu melangkah maju menghampiri.

Tiba-tiba Sui Cin hampir menjerit melihat betapa laki-laki tinggi besar yang sudah roboh itu secara mendadak menggerakkan goloknya membabat ke arah kaki dan serangan ini dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut. Sungguh merupakan serangan amat berbahaya dan dilakukan dengan mendadak selagi pemuda itu menghampirinya dan sama sekali tidak menduganya.

Namun, Sui Cin dan Cia Sun kembali terkejut kagum melihat betapa mudahnya pemuda itu menghadapi serangan yang cukup berbahaya itu. Ketika golok membabat kaki, tubuhnya meloncat ke atas dan ketika golok itu menyambar ke arah perutnya, enak saja tubuhnya miring dan dari samping, tangannya bergerak ke arah pundak kanan lawan yang berada dalam keadaan terbuka.

"Krekkk!"

Golok terlepas jatuh ke dekat tubuh orang tinggi besar itu dan lengan kanannya terkulai karena tulang pundaknya patah. Si tinggi besar memandang beringas akan tetapi agaknya diapun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang lebih kuat maka hanya menundukkan mukanya.

"Hemm, penjahat busuk dan hina! Engkau masih tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa dan membunuh wanita itu?"

"Aku... aku mengaku, tapi..."

"Hemm, tidak ada tapi lagi. Setelah engkau mengaku menjadi pemerkosa dan pembunuh, sekarang boleh kaupilih, hendak menamatkan riwayat hidupmu sendiri ataukah engkau ingin aku membantumu dan membiarkan engkau mati perlahan-lahan dengan menderita? Nah, itu golokmu masih di situ dan engkau harus berterima kasih kepadaku yang membiarkan engkau masih dapat memilih." Pemuda itu tersenyum di bawah capingnya. Dari jauh, yang nampak oleh Cia Sun hanya senyum itu dan dia merasa tidak suka dengan senyum ini. Senyum ini membayangkan kekejaman biarpun hanya sekilas saja.

Si tinggi besar menarik napas panjang. "Aku sudah kalah, siapa takut mati?" Dan tangan kirinya mengambil goloknya sendiri lalu dengan gerakan yang kuat, golok itu digerakkan menyambar leher sendiri.

Cia Sun dan Sui Cin terkejut, hendak mencegah namun terlambat. Darah muncrat-muncrat dan orang tinggi besar yang tadinya duduk itu kini terjengkang dengan leher terkuak lebar hampir putus.

Pemuda bercaping lebar itu masih berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, mengangguk- angguk melihat bekas lawannya tewas. Kemudian dengan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Sui Cin dan Cia Sun. Wajahnya yang putih halus itu berseri dan mulutnya tersenyum manis dan ramah sekali. Bahkan dia lalu menjura dengan sikap hormat kepada Sui Cin dan Cia Sun yang tentu saja segera membalasnya.

"Ah, kiranya ada dua orang gagah perkasa yang ikut menyaksikan tewasnya jai-hwa-cat yang kejam. Saya dapat menduga bahwa ji-wi (anda berdua) tentu hendak menghadiri pertemuan para pendekar seperti saya juga, bukan?"

Ucapan ini makin meyakinkan hati Sui Cin bahwa pemuda tampan dan perkasa ini adalah seorang pendekar, maka iapun cepat balas menjura dan memuji, "Caramu memaksa dia membunuh diri tadi sungguh cerdik sekali!"

"Begitukah, nona? Sesungguhnya orang macam dia layak mampus, akan tetapi aku selalu merasa tidak tega untuk membunuh orang, betapapun jahatnya. Kecuali kalau sangat terpaksa. Kalau bisa, aku lebih senang membiarkan dia membunuh diri sendiri."

"Maaf, saudara tadi mengatakan bah-wa dia adalah seorang jai-hwa-cat. Apa-kah ada buktinya dia memperkosa wanita dan membunuh orang?" tiba- tiba Cia Sun bertanya dan matanya memandang penuh selidik.

Pemuda bercaping itu memandang kepadanya dan sejenak dua orang muda itu saling pandang dengan tajam. Akan tetapi, pemuda bercaping itu lalu tertawa, suara tertawanya bebas lepas dan nyaring, mendatangkan rasa suka di hati Sui Cin. Pemuda ini selain gagah juga jujur dan gembira, tentu lebih menyenangkan sebagai sahabat dan kawan seperjalanan daripada Cia Sun yang pendiam sekali itu.

"Ha-ha-ha, saudara berpakaian putih sederhana, pantas dijuluki Pek-i Taihiap (Pendekar Besar Baju Putih), dan pertanyaanmu tadi menunjukkan betapa engkau adalah seorang yang teliti dan bijaksana. Memang, sebelum kita bersahabat, seyogianyalah kalau kalian berdua mengenal dulu orang macam apa aku yang hendak dijadikan kenalan, bukan?"

Orang itu tersenyum dan melirik ke arah Sui Cin yang juga tersenyum karena ia menganggap bahwa orang ini pandai bicara pandai pula membawa diri.

"Namaku Thian Bu, she Sim. Sim Thian Bu, ya, itulah nama yang mudah diingat, bukan? Aku tidak datang dari satu golongan atau partai persilatan tertentu, hidupku sendirian dan suka merantau di dunia yang luas. Karena sejak kecil aku sudah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, maka ketika mendengar akan diadakannya pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu, aku segera bermaksud menghadirinya untuk berkenalan dengan para pendekar dan meluaskan pengalaman. Ketika melewati hutan di bawah, aku melihat mayat seorang wanita diperkosa. Aku mengejar ke atas dan melihat tiga orang pendekar mengeroyok penjahat ini. Sayang aku terlambat sehingga tiga orang pendekar itu telah roboh. Aku lalu mengejar lagi dan akhirnya berhasil menyusulnya di tempat ini."

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang