Jilid 41

1.6K 31 0
                                    

Betapa mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli melihat orang yang sedang disiksa oleh kenyerian, bahkan sekali waktu kita seperti merasa terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga menderita! Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tiada bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu! Dan, tanpa melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat merobahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas daripada kekotoran itu.

Bahkan ketika si cebol botak masih berkelojotan dalam sekarat, percakapan mereka lanjutkan, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan tari-tarian dan mendengarkan nyanyian.

"Sekarang kita harus melakukan persiapan. Kita mendekati Puncak Bukit Perahu dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak berapa besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan biar mereka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing yang sudah siap untuk dapat dipergunakan besok pagi?" kata pula Iblis Buta.

Mereka semua menyebutkan jumlah pengikut yang sudah siap dan ternyata jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri. "Cukup, lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan saja, dan kita yang akan berpesta-pora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi kita harus sudah siap bersembunyi di dalam hutan selatan puncak, membiarkan mereka berkumpul semua seperti tikus-tikus dalam sebuah lubang, tinggal membasmi saja!"

Tiba-tiba Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar semua orang diam. Dia sendiri lalu melangkah ke kanan, mendekati tebing dari mana dapat kelihatan sungai yang liar itu. Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu. Semua orang ikut memandang dan tidak melihat sesuatu, juga yang mereka dengar hanya gemerciknya air sungai. 

Akan tetapi agaknya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Dan semua orang saling pandang dengan gelisah dan jantung berdebar karena memang benar, lapat-lapat kini merekapun mulai dapat mendengar suara yang-kim. Yang-kim adalah semacam siter yang memakai senar-senar kawat berbunyi nyaring melengking dan kini di antara gemercik suara air itu terdengar suara yang-kim dimainkan orang! 

Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu! Di bawah sinar bulan purnama yang seperti perak, nampak sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yang liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang dapat naik perahu enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian liar dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.

Dan pemain yang-kim itu adalah seorang kakek. Tidak nampak jelas bentuk mukanya, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasa sehingga suaranya dapat menusuk- nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.

Mula-mula yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu memasuki telinga demikian nyaringnya sehinga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk. 

Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sin-kangnya sudah menjadi lemas dan mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seolah-olah dapat menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila melakukan siulian (samadhi) untuk memperkuat sin-kangnya menahan daya serangan suara yang-kim itu.

Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksasa baju hijau yang sudah memiliki tingkat kepandaian dan tenaga sin-kang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apalagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia marah melihat betapa suara yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita. Akan tetapi, diapun tahu bahwa pemain yang-kim itu berada jauh di bawah tebing sehingga diapun tidak dapat mendekatinya. Akan tetapi, kakek buta ini memang hebat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat menentukan di mana letak perahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. 

Tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.

"Krakkk...!" 

Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, dan tepat sekali mengarah perahu di mana kakek berjenggot panjang masih bermain yang-kim! 

Memang hebat sekali Siangkoan-lojin ini. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tidak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah "awas" dibandingkan orang yang tidak buta. Para tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak den wajah berseri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menduga bahwa tentu perahu itu bersama penghuninya akan hancur lebur tertimpa batu yang demikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.

Akan tetapi, kakek berjenggot itu agaknya sama sekali tidak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerekkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan yang-kim!

"Blarrrr...!" 

Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus dan suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang