Jilid 55

1.5K 24 0
                                    

Kita condong beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Kalau mau makan enak haruslah membeli masakan-masakan yang mahal harganya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. 

Akan tetapi, benarkah demikian adanya? Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di ladang dapat menikmati makanannya yang sederhana, dengan kenikmatan yang tidak dibuat-buat. Mengapa demikian? Karena badannya sehat dan batinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi nikmat terasa olehnya. 

Kita melihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat lahir batinnya. Sebaliknya, kitapun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak kerja menjadi malas, makan tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.

Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir batin. Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan pikiran. 

Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan lahir batin itu daripada MENJAGANYA. Kita hidup tidak sehat, makan minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!

Biarpun hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah hutan yang sunyi, namun Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar nyenyak, tidak perlu membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan segala letih dan kantuk.

Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya, "tuk!" hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun diapun sudah waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada biarpun dalam keadaan sedang tidur. Suara tidak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.

"Brakkkkk...!" 

Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia ikut terbanting dan tertindih. 

Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat di situ telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa. Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan. 

Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, biarpun baru satu kali bertemu dengan makhluk ini, Hui Song yang sudah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka, diapun bersikap waspada walaupun mulutnya bergerak membuat senyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.

"Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"

Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali.

"Bocah sombong, kami datang menagih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.

"Plakk!" 

Hui Song menangkis sambil tertawa.

"Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutarbalikkan fakta!" 

Tangkisan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibatnya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. 

Kakek inipun tidak menggunakan pecut bajanya. Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, merekapun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Serangan Hek-mo dari samping cukup dahsyat, dengan pukulan keras ke arah lambung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.

"Memang sudah lama aku tahu kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Tapi jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!" Berkata demikian, Hui Song menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali.

Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas, kedua tangannya berbareng menyambar ke arah Hek-mo dan Kui-bo dengan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!

"Plakk! Plakk...! Ihhh...!" 

Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting ketika menangkis pukulan sakti ini dan mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka besar. Mereka merasa penasaran sekali kalau secara maju bersama tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang