"Sekarang ceritakan, siapa nama encimu itu, Cin-te (adik Cin)?"
Sui Cin tersenyum. "Song-twako, terus terang saja, aku tidak berani melanggar pantangan enci. Kalau aku menceritakan tentu aku akan ditamparnya. Ia galak sekali lho. Sebaiknya kelak saja kalau engkau berjumpa lagi dengannya, tanyakan sendiri, Song-twako."
Hui Song mengerutkan alisnya, akan tetapi dia sendiri sudah pernah berjumpa dengan dara itu dan tahu akan watak yang aneh dan keras, maka diapun tidak terlalu menyalahkan Sui Cin kalau takut dengan encinya yang galak itu. Karena memang wataknya terbuka dan ramah, Hui Song dapat membuang kekecewaannya.
Bagaimanapun juga dia telah berkenalan dan bersahabat dengan adik dara itu, inipun sudah merupakan suatu hal yang amat menguntungkan. Dan kalau dia sudah berkenalan dan bersahabat dengan adiknya, maka jalan menuju ke arah perkenalan dengan encinya tentu saja jauh lebih dekat dan mudah. Dan bagaimanapun juga, dia merasa bangga hati dapat berkenalan dengan seorang putera dari Pendekar Sadis yang amat terkenal dan sudah lama dikaguminya itu.
"Cin-te, apakah sekarang engkau hendak pulang ke rumah orang tuamu? Di manakah mereka tinggal?" tanyanya.
"Kami tinggal jauh di selatan, di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku belum mau pulang, aku hendak pergi ke kota raja untuk... eh, untuk mencari enciku di sana."
"Ah, bagus sekali! Aku hendak pergi ke kota raja. Kita dapat jalan bersama kalau begitu." Hui Song berseru gembira.
Sui Cin tersenyum menggoda. "Eh, katanya tadi bilang hendak ke Cin- ling-pai? Mengapa sekarang tiba-tiba hendak pergi ke kota raja?"
Mendengar nada suara yang mentertawakan ini, Hui Song tertawa. "Wah, terus terang saja, memang aku ingin sekali dapat segera bertemu dan berkenalan dengan encimu. Akan tetapi, sesungguhnya, selain keinginanku berkenalan dengan encimu, juga ada hal-hal penting yang mendorong aku pergi ke kota raja melakukan penyelidikan."
Sui Cin merasa tertarik. "Hal-hal penting apakah, twako?"
"Aku mengalami dua hal yang amat aneh di Cin-an. Pertama kali ketika aku melihat kaisar dalam penyamaran dilindungi oleh datuk-datuk Cap- sha-kui, dan kedua kalinya melihat gerombolan ganas seperti Hwa-i Kai- pang itu bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Bukankah hal itu penting den aneh sekali? Aku ingin menyelidiki keanehan itu di kota raja. Pasti terjadi apa-apa yang luar biasa di kota raja, kalau tidak demikian, tidak mungkin para penjahat keji bersekutu dengan pemerintah."
Sui Cin mengangguk-angguk. "Engkau benar. Tidak terpikirkan olehku tentang keanehan kerja sama antara penjahat dan petugas keamanan itu. Kalau begitu, mari kita berangkat dan kita selidiki bersama, twako."
"Baiklah, dan akupun akan membantumu mencari encimu di kota raja," kata Hui Song dan Sui Cin hanya tertawa saja.
Istana tua di Lembah Naga itu dahulu merupakan tempat yang amat sunyi, akan tetapi semenjak pendekar sakti Cia Han Tiong mendirikan perkumpulan Pek-liong-pai (Partai Naga Putih), tempat terpencil itu tidaklah begitu sunyi lagi. Di kanan kiri gedung istana tua itu kini didirikan bangunan-bangunan pondok di mana murid-murid Pek-liong-pai tinggal dan tempat itu kini terawat baik dan bersih. Para murid atau anggauta Pek-liong-pai selain belajar ilmu silat di tempat itu, juga mereka bekerja dengan rajin, menjaga baik-baik tempat itu dan ada pula yang bertani, memelihara ternak dan sebagainya.
Banyak sudah murid yang tamat belajar lalu meninggalkan Lembah Naga, terjun ke dunia ramai sebagai pendekar-pendekar budiman sehingga mereka inilah yang memperkenalkan dan mengharumkan nama Pek-liong-pai di dunia kang-ouw. Karena sepak terjang para murid lulusan Pek-liong- pai yang gagah perkasa, apalagi mendengar bahwa Pek-liong-pai didirikan oleh putera Pendekar Lembah Naga yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan, maka nama perkumpulan itupun mendatangkan rasa hormat dan segan di hati para pendekar, dan ditakuti oleh para penjahat.
Dalam mengajarkan ilmu-ilmunya, Cia Han Tiong ketua Pek-liong-pai bersikap sangat keras dan berdisiplin. Setiap orang murid yang mengajukan permohonan belajar di situ akan mengalami ujian dulu, diteliti watak dan bakatnya. Setelah belajar, sebelum dinyatakan tamat, murid ini sama sekali tidak boleh meninggalkan lembah. Pendekar ini maklum bahwa pelajar silat masih mentah sajalah yang tidak mampu menguasai dirinya dan suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan hal ini selain amat berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, juga akan menyeret nama Pek-liong-pai ke dalam lumpur.
Ketika dia mendirikan Pek-liong-pai, belasan tahun yang lalu, ayah ibunya masih hidup. Ayahnya, mendiang Cia Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan berjuluk Pendekar Lembah Naga, juga mendiang ibunya adalah seorang pendekar wanita yang lihai. Menjelang hari akhirnya, Cia Sin Liong dan isterinya hidup tenang di lembah itu, lebih banyak bersamadhi dan menyendiri.
Akan tetapi pendekar sakti ini merestui niat puteranya untuk mendirikan perkumpulan agar ilmu keluarga mereka tidak musnah, bahkan pendekar sakti Cia Sin Liong membantu puteranya untuk memberi gemblengan ahlak kepada para murid Pek-liong-pai, dengan mempelajari budi pekerti dan ilmu kesusasteraan. Setelah kemudian suami isteri Pendekar Lembah Naga meninggal dunia dalam usia tua, Han Tiong melanjutkan pendidikan budi pekerti itu dengan tekun dan berdisiplin. Semua anak murid Pek-liong-pai diharuskan bersumpah untuk tidak membunuh orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Berdarah
RomanceLanjutan Siluman Gua Tengkorak Kisah Cinta dua pasang muda mudi yang penuh dengan konflik dan pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang di harapkan, siapakah pasangan muda mudi yang bertualangan cinta...