Jilid 13

2K 34 0
                                    

Akan tetapi, pemuda yang dikenalnya sebagai muridnya karena mengenakan pakaian satu di antara dua pemuda itu, kini berlari ke depan, menggunakan kesempatan selagi orang lengah, meloncat den melayang di atas kepala mereka ke arah wuwungan kuil di depan kemudian berloncatan dan lenyap ditelan malam yang sudah hampir terganti pagi namun masih amat gelap itu. 

Barulah Thian Kong Hwe-sio sadar bahwa yang disangka muridnya tadi bukanlah muridnya, melainkan gadis itu yang mengenakan pakaian muridnya itu! Para perwira memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Pengejaran dilakukan akan tetapi para pengejar itu meraba-raba di tempat gelap, tidak tahu ke arah mana gadis itu menghilang. Sementara itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw memasuki kamar menara dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat dua orang murid yang telah menjadi mayat itu. Hidangan yang dibawa oleh dua orang muda itu telah habis dimakan, akan tetapi buntalan emas masih berada di situ, tidak sempat dibawa pergi penjahat.

Sementara itu, di dalam sebuah hutan di luar kota Ceng-tao, Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo saling berbantahan dan saling menyalahkan.

"Dasar engkau yang mata keranjang dan ceroboh!" Si muka hitam itu mengomel. "Kalau memang ketagihan pemuda, kenapa tidak menangkap saja beberapa orang dan membawanya ke tempat sepi seperti hutan ini? Kenapa harus dinikmati di kuil yang keramat? Engkau mencari penyakit saja!"

Wanita itu kini telah menanggalkan kedoknya dan kalau orang melihat muka-nya pada saat itu baru mereka akan tahu mengapa wanita ini suka memakai kedok. Kiranya pipi kanannya terdapat codet atau luka bekas goretan yang dalam dan panjang, membuat muka itu nampak menyeramkan dan menjijikkan. Sambil meludah Hwa-hwa Kui-bo menudingkan telunjuknya ke arah hidung kakek itu.

"Cih, tak tahu malu! Engkau sendiri-pun ikut menikmatinya, sekarang hendak menyalahkan aku? Keparat, apakah engkau hendak mencoba-coba kepandaianku?"

Kakek itu menarik napas panjang dan melambaikan tangannya dengan hati kesal. "Sudahlah, jangan bicara tentang kepandaian. Kau kira kita ini memiliki kepandaian macam apa? Mengeroyok seorang bocah bertangan kosong saja tidak becus mengalahkannya!"

Ucapan ini membuat nenek itu teringat dan berdiam diri, tidak jadi menghunus pedangnya dan nampak termangu-mangu. "Aku masih heran, siapakah gerangan bocah setan yang memiliki kepandaian sehebat itu? Aku masih heran dan sungguh aku sama sekali tidak dapat mengenal ilmu silatnya yang aneh-aneh itu..."

"Aku sendiripun heran. Ada beberapa gerakannya yang mengingatkan aku akan ilmu-ilmu mujijat dari Pendekar Sadis..."

"Ehhh...!" Wanita itu hampir menjerit ketika mengeluarkan seruan itu. Bagaimanapun juga, sebutan Pendekar Sadis membuat jantungnya seperti akan copot rasanya.

"Mungkin juga bukan, karena di dalam gerakan-gerakannya terdapat unsur ilmu-ilmu silat tinggi yang lain seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain. Sungguh bocah itu seperti setan saja. Tidak salah lagi! Ia tentu puteri atau murid seorang sakti. Karena itulah, kita harus berhati-hati, kita harus bersatu karena bukankah sekarang ini orang-orang golongan putih yang menentang kita sedang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu?"

Wanita itu mengangguk-angguk. "Memang kedatanganku ke sini juga hendak menyelidiki kebenaran berita itu. Kita tidak boleh tinggal diam saja kalau mereka mengadakan pertemuan. Apakah saudara-saudara kita yang lain juga akan datang?"

"Kurasa demikian. Bahkan datuk-datuk kitapun kabarnya akan muncul, untuk melakukan penyelidikan sendiri."

"Benarkah? Aih, bakalan ramai kalau begitu! Memang mereka, golongan putih itu, semakin congkak dan tekebur saja. Kalau kita tidak melawan mereka, tentu golongan kita dianggap golongan tahu dan tidak mempunyai jagoan-jagoan lagi." Hwa-hwa Kui-bo mengepalkan tinjunya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi penuh kebencian.

"Kalau mereka datang, tentu muncul di Ceng-tao. Akan tetapi karena kita menjadi buruan di Ceng-tao, sebaiknya kita mendekati Puncak Bukit Perahu itu sambil menanti kedatangan para sahabat kita. Bagaimanapun juga, mereka tentu akhirnya akan berdatangan ke bukit itu pula."

Wanita itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan menuju ke utara.

Pada keesokan paginya di pasar kota Ceng-tao. Pagi itu pasar ini tetap ramai seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu malam tadi. Akan tetapi, di antara percakapan sehari-hari dan urusan perdagangan, ramai pula orang bicara tentang peristiwa di kuil Dewi Laut di mana terjadi pertempuran yang menewaskan belasan orang perajurit keamanan. Bermacam-macamlah pendapat orang mengenai peristiwa itu. Yang kepercayaannya terhadap kesaktian Dewi Laut sudah berlebihan, kukuh berpendapat bahwa semua itu adalah akibat kemarahan Dewi Laut yang hendak menghukum pendeta kuil dan para perajurit.

"Kalau bukan Sang Dewi, mana mungkin ada wanita dapat menghindarkan diri dari kepungan para perajurit?"

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang