Jilid 45

1.6K 28 0
                                    

Sim Thian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."

"Kenapa?"

"Karena engkau lihai..."

"Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?"

"Mana mungkin engkau tidak lihai kalau engkau puteri Pendekar Sadis?"

Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, seperti pakaian seorang sasterawan muda yang kaya. 

Untuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih menarik daripada Cia Sun walaupun tentu saja terhadap Cia Sun ia sudah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpengaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun adalah putera tunggal Cia Han Tiong, kakak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya. Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya walaupun kelihatannya pantas menjadi seorang pendekar pula.

"Hati-hati berhadapan dengan manusia, anakku," demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasihat. "Di dunia ini penuh dengan manusia yang palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesungguhnya adalah manusia jahat yang berbahaya, seperti harimau bertopeng domba." 

Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan biarpun ia merasa suka bergaul dengan pemuda tampan yang berwajah gembira dan pandai bicara ini, namun ia belum menyerahkan seluruh kepercayaannya dan diam-diam bersikap waspada.

"Kalau kita pergi dari sini, ke mana tujuanmu?" Ia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk melewatkan malam di tempat itu dan membuntal semua pakaiannya.

"Ke Mana? Ha-ha, nona, sudah kuberitahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu ke mana akan pergi. Ke mana saja, asal dapat meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang amat indah. Bagaimana kalau kita melancong ke sana? Tentu saja kalau nona suka." Pemuda itu memang pandai mengatur kata- katanya sehingga menyenangkan ha-ti Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan perasaan gadis itu.

"Baik, kita pergi ke sana," kata Sui Cin. Ia mengambil keputusan untuk bar-senang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.

Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki tempat-tempat peristirahatan atau tempat rekreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur. 

Di luar kota Cin-an, di pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah- limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Di sini selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun di mana orang dapat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya.

Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya menggunakan tempat ini untuk pelesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton tarian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang.

Akan tetapi pada hari itu, di kebun itu agak sepi. Hanya nampak beberapa orang berjalan-jalan di sana-sini, ada pula yang sedang duduk di perahunya memancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. 

Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak. Seorang pelukis tua di atas gunung-gunungan asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya dan seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. 

Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya diapun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan di mana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya. Tak lama kemudian, penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu.

Tiba-tiba wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.

"... gerakan air dan awan berobah setiap saat tanpa bekas, tanpa tujuan..."

Penyair itu bertepuk tangan dengan girang. "Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak, di dalam syair terkandung lukisan, keduanya tak dapat dipisahkan!" Akan tetapi setelah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah mereka."

Si pelukis memandang ke arah permukaan telaga di mana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyikan muka mereka, dan dari bawah caping itu, mata mereka kadang-kadang ditujukan ke arah seorang pemuda yang sedang mendayung perahu seorang diri sambil minum arak! Dua orang bercaping lebar itu memiliki bentuk tubuh yang tegap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat sebatang pedang.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang