Jilid 109

2.5K 39 0
                                    

Diam-diam pemuda itu terkejut. Kiranya wanita ini bukan saja lihai dan berbahaya, akan tetapi juga cerdik sekali. Dia sendiri belum mengenal gadis ini, bahkan mendugapun tidak dapat siapa gerangan gadis cantik ini, akan tetapi gadis ini sudah mengenal namanya.

"Engkau sudah mengenalku. Engkau bilang ingin bersahabat dengan aku, akan tetapi engkau menyerangku, kemudian merobohkan aku dengan bubuk beracun dan kini menawanku, siapa mau percaya omonganmu?"

"Cia-taihiap, aku... begitu melihatmu, kemudian melihat kepandaianmu, aku... suka sekali kepadamu, aku... jatuh cinta dan aku ingin sekali bersahabat denganmu. Akan tetapi karena aku takut engkau akan memberontak dan tidak percaya kepadaku, maka terpaksa aku merobohkanmu secara itu dan kalau sekarang engkau berjanji mau menerima uluran tangan dan hatiku, aku tentu akan segera melepaskan ikatan kedua tanganmu..."

"Hemm, apa yang kaumaksudkan dengan uluran tangan dan hati itu?" Hui Song sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia masih asing dengan istilah-istilah mengenai cinta dan dia belum berpengalaman tentang wanita.

Siang Hwa tersenyum, mendekat dan meraba lalu mengelus dada telanjang itu, dan ia mendekatkan mukanya, bibirnya bergerak hendak mencari dan mencium bibir pemuda itu. Hui Song terpaksa menarik kepalanya ke belakang dan terdengar gadis itu berbisik, "Taihiap, uluran tangan dan hatiku adalah penyerahan seluruh jiwa ragaku kepadamu, aku cinta padamu, taihiap..." Dan Siang Hwa tiba-tiba mencium bibir Hui Song yang tidak dapat mengelak lagi.

"Perempuan hina tak tahu malu!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar jendela dan mendengar ini, tiba-tiba Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan sekali meloncat ia sudah keluar dari dalam kamar itu.

Begitu ia tiba di luar kamar, seorang gadis yang manis menyambutnya dengan serangan sepasang pedang mengeluarkan sinar berkilat. Siang Hwa terkejut bukan main. Sebagai seorang ahli silat pandai, ia mengenal gerakan pedang yang amat lihai, maka iapun cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi gadis itu mendesaknya dengan kilatan-kilatan sepasang pedang yang dimainkan dengan cepat, indah dan berbahaya.

"Siapa engkau?" Siang Hwa membentak sambil meloncat mundur lagi ke ruangan depan kamarnya yang luas.

"Perempuan hina, aku adalah algojomu untuk mengakhiri kecabulanmu!" Gadis itu berteriak semakin marah dan penasaran melihat betapa serangan-serangannya tidak pernah berhasil. Ia menerjang lagi ke depan dan sepasang pedang di kedua tangannya itu berkelebatan membentuk dua gulungan sinar yang berkilauan.

"Bagus! Ilmu pedangmu bagus juga!" Siang Hwa berseru dan begitu tangan kanannya meraba pinggang, ia telah mengeluarkan sebatang pedang yang kebiruan. Kiranya pedangnya itu terbuat dari baja yang tipis sekali, tipis dan lemas sehingga dapat disimpan di pinggang sebagai ikat pinggang! Dan begitu ia mengelebatkan pedangnya, nampak sinar kebiruan.

"Trang! Cringg...!"

Gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Pedang kebiruan itu dengan gerakan aneh dan cepat, telah menangkis dan begitu membentur sepasang pedangnya, ia merasa betapa tangannya kesemutan. Cepat ia meloncat ke belakang sambil memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya. Terdengar Siang Hwa terkekeh dan iapun kini membalas dengan serangan- serangan dahsyat yang membuat gadis pemegang siang-kiam (sepasang pedang) itu menjadi repot untuk menangkis dan menghindarkan diri dari sambaran sinar biru yang amat lihai itu.

Mendengar suara gadis di luar kamar itu, Hui Song segera mengenalnya. Itulah suara Tan Siang Wi, sumoinya! Tentu saja dia merasa gelisah sekali karena dia tahu bahwa sumoinya bukanlah lawan Siang Hwa yang amat lihai itu. Dia berusaha melepaskan diri, akan tetapi pengaruh obat bius masih melemaskannya dan tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya juga amat kuat. Dia harus menanti sampai tenaganya pulih kembali akan tetapi saat itu sumoinya berada dalam bahaya maut. Dia sudah mendengar suara berdentingan senjata pedang yang saling beradu dan dengan pendengarannya diapun dapat mengenal gerakan sumoinya yang kini mulai kacau dan terdesak, lebih banyak menangkis daripada menyerang.

Asmara BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang