[9] Mulai Tumbuh

24.7K 1.4K 50
                                    

"Semesta pada akhirnya akan menyeleksi siapa saja yang pantas untuk berada di dalam hidupmu. Tenanglah."


DAREL

_________________

TITTTTT!

Brak!

Celaka. Dengan cepat Velin kemudikan arah motornya membelok haluan kanan. Segera ia sadarkan penglihatan. Ya Tuhan, tanpa sadar ia sudah keluar jalan raya dan hampir saja menabrak seorang ibu dengan belanjaan penuh di atas motornya. Syukur tak tertabrak.

Velin mengusap dadanya sejenak dan melanjutkan perjalanan. Ia rasa efek kehadiran Farhanz sempat menganggunya. Yang ia tak habis pikir, mengapa juga Farhanz harus mendatanginya dengan pembukaan ala sekap mulut begitu, hah? Romantis kagak, bikin ngeri' iya.

Selang beberapa menit kemudian, Velin pun tiba di kediaman pak Devan. Ia bergegas turun dari motornya usai memarkir di halaman rumah pak Devan tersebut. "Velin!?" Pak Devan nampak histeris dan memegang kedua bahu Velin begitu Velin memperlihatkan wajahnya di depan pintu yang memang sudah terbuka.

"Kenapa Pak!?" Velin ikut panik.

"Astaghfirullah... bapak kira kamu kenapa-kenapa! Ditelpon gak diangkat! Kamu tau ini udah jam berapa!?" Velin menggelengkan kepala kecil dan segera melihat jam tangannya. Seketika kedua bola matanya membulat sempurna. Terlambat satu jam. Perfecto.

"Yaudah, sekarang kamu masuk dulu!" Pak Devan merendahkan nada bicaranya dan mempersilahkan Velin duduk. Velin masih terpaku dan tak bisa berkutik apa-apa. Di dalam hatinya ia sibuk mengumpati Farhanz yang menjadi alasan keterlambatannya. Velin memejamkan mata dan menghembuskan napas lelah.

"Kamu tau Darel kemana sekarang!?"

Velin segera menoleh ke arah pak Devan yang masih terlihat panik dan tak tenang. "Dia ngamuk nyariin kamu. Dia kira kamu kesasar atau kecelakaan." Lengkap, Velin. Ceroboh, ceroboh, ceroboh. "Tunggu. Bapak telpon Darelnya. Sekarang kamu minum dulu." Pak Devan menyodorkan segelas aqua pada Velin. Velin pun langsung meminumnya tanpa sisa.

Tak lama terdengar pak Devan sedang bercakap-cakap dengan seseorang di seberang telepon sembari sesekali melirik ke arah Velin. Lalu, mematikan panggilan tersebut. "Darel sangat bersyukur kamu selamat. Kamu pacaran sama Darel 'kan?" Tanya pak Devan. Velin hanya mampu mengangguk kikuk.

"Darel itu tipe cowo yang perhatian dan bertanggung jawab. Persis seperti saya ketika muda." Pak Devan nampak menerawang dan tersenyum sesaat. Velin hanya melongo' melihatnya. "Pertahankan. Darel gak main-main sama kamu, nak Velin. Ya... walau kamu masih SMA setidaknya kamu ada pengalaman 'kan, ha ha ha!" Velin ikut tertawa meski terasa garing.

Setelah itu, hening.

Krik-krik.

Krik-krik.

"Kalau Ali dimana, Pak?" Velin baru menyadari Ali tak ada di ruang ini. "Oh, Ali gak bisa datang. Ibunya masuk rumah sakit." Velin kaget dan sesudah itu mengangguk. Berdoa di dalam hati semoga ibu Ali lekas sembuh dari penyakitnya.

Tiba-tiba....

Suara derap kaki berlari terdengar begitu kental. Lelaki itu memandang Velin di ambang pintu dengan dada sesak naik turun. Wajah dinginnya terlihat lega sekaligus marah. Rahangnya mengeras dan ia menatap Velin... sedih.

Darel....

Maafkan aku.

**

DAREL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang