[64] Te Amo

11.3K 741 289
                                    

"Pada akhirnya, semesta akan kembali membawamu padaku."

-Velin

Prananta's Series
---------------------

Velin sadar, teramat sadar, bahwa jiwanya begitu lelah dan kedua kakinya serasa tak dapat lagi berpijak. Sedang air matanya, selalu turun tanpa ia pinta. Teruntuk dia  yang Velin cintai dalam darah dan perih, tolong. Velin hanya ingin Darel berbahagia di sana, jadi, Velin mohon, tersenyumlah.

Darel....

Jika Velin mengatakan betapa sangat mencintainya Velin pada dirinya, dan hanya dialah rumah Velin yang sebenarnya, bisakah Darel hidup kembali? Ha ha, bodoh. Pertanyaan paling konyol dan menggelikan di dunia ini. Bahkan anak TK sekalipun tahu jelas jawabannya.

Darel....

Velin rindu. Tuhan, Velin sangat, merindukan dia. Darel... Bisakah Velin ikut menyusul dengannya? Andai Darel tahu, demenjak kematiannya, hati Velin seperti beku. Bibir Velin dapat melengkungkan sebuah senyum, air matanya pun dapat mengalir tapi hatinya, seperti mati rasa. Velin, tidak merasakan kehangatan lagi di dalamnya.

Teruntuk senja dan langit biru....

Tolong sampaikan salam dan cinta Velin pada lelaki, bermata kelam itu.

**

"Apa? Austin di Rumah Sakit Jiwa?" Tanya Velin tak percaya. Tapi, bagaimana bisa? Vredo mengangguk cepat. Ntah mengapa Velin merasa gelisah tiba-tiba menyergap dirinya. "Kau yakin ingin menemuinya?" Kali ini Edd angkat bicara. Wajah Edd tenang namun Velin tahu dari setitik sirat di matanya. Edd, khawatir.

"Ya. Aku yakin. Aku harus menemuinya," ucap Velin mantap dan kemudian mengangguk-anggukan kepala. "Baiklah. Ah, ini akan menjadi malam yang sangat panjang... bagi kita bertiga!" Seru Vredo sambil tertawa keras. Velin dan Edd ikut tertawa kecil.  Benar. Velin hanya berharap, setidaknya, mereka bertiga masih dapat melihat hari esok.

Semoga saja.

**

De ja vu.

Velin merasakan hal itu saat melewati lorong putih yang sama dengan lorong asrama Axcervine University, dulu. Jantung Velin mulai berdebar tak enak. Tapi ia tetap berusaha memantapkan hati.  Edd dan Vredo mengikuti di sisi kanan kiri Velin masing-masing. Mereka bertiga saling diam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing.

"Apa Reylie telah sampai di markas rahasia kita dengan selamat?" Cicit Vredo sambil melirik Velin. "Sebentar," ucap Velin lalu melihat layar handphone-nya. Sebuah titik berwarna merah. Velin tersenyum, "sudah."
Vredo menghela napas lega. Ya, titik merah yang merupakan mobil Reylie itu telah sampai di kawasan kami dengan selamat. Ah, berbicara tentang Reylie dan Vredo, Velin teramat bersalah atas insiden betapa bodohnya ia saat melarikan diri dahulu.

Reylie dan Vredo saling mencintai. Andai saja, andai saja... Velin tidak kabur dari Darel, Velin tidak akan bertemu dengan Austin. Tapi, sekali lagi, takdir adalah permainan Tuhan. Layaknya putih bertemu hitam, kepingan masa lalu dan teka-teki, pada akhirnya, semua akan nampak jelas.
"Ini pintu ruangan Austin." Itu suara Edd. Velin mengangguk singkat sambil mengatur napas.

"Kalian tidak ikut?"

"Tidak. Kami menunggu di luar. Berbicaralah. Tapi jika tiba-tiba dia mengamuk dan melakukan hal yang tidak-tidak, tekan saja clip yang berada di kerah bajumu," jelas Vredo sambil memegang bahu kanan Velin dengan tenang. Seolah memberi kekuatan dari dalam. Edd pun mengangguk dengan senyum tipisnya.

Ah, ok, atur napasmu Velin....

Hirup, keluarkan.

Hirup, keluarkan.

DAREL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang