[44] Hari Kematian

11.8K 762 40
                                    

"Kita bertemu dalam gelap.
Dan kau, menyinariku."

-Darel-

Prananta's Series
-----------------------

"Darel? Tapi ini hujan."

Darel menggeleng kuat. Tetap kokoh pada keputusannya. Rambut hitam legamnya basah kuyup menyatu menjadi poni yang menutupi kedua matanya. Velin menyingkap poni itu pelan. "Baiklah. Kalau itu maumu." Dapat Velin lihat Darel yang seketika tersenyum manis. Keduanya kembali berdansa.

Tidak peduli dengan wajah tanpa make up atau rambut yang tidak lagi beraturan. Mereka juga tidak peduli jika bulan tak lagi terlihat. Mereka tidak peduli ini jam berapa. Mereka tidak peduli jika di sekitar mereka hanya ada kegelapan dan derasnya hujan. Mereka juga tidak peduli jika besok mereka akan sakit karena kehujanan.

Yang keduanya peduli dan sadari....

Mereka hanya berdua.

Velin dan Darel.

Cukup berdua.

Untuk sekarang. Kini.

Selama keduanya berdansa, tidak ada yang berbicara. Tapi mereka sadari, kedua bola mata mereka yang saling bertatapan cukup mengartikan bahwa itu ungkapan cinta. Selama mereka berdansa, tidak ada suara tawa ramai seperti dansa sebelumnya. Sebelum hujan. Tapi mereka pun tahu, hati mereka yang saling menghangat cukup mengartikan bahwa mereka tersenyum dan tertawa dalam hati.

Selama berdansa, keduanya tahu, setelah ini, badai apapun yang akan menerjang, mereka berdua pasti akan mampu menghadapinya. Selama mereka berdansa, mereks tahu, setiap luka ternyata, memiliki penyembuh terindah pada saatnya. Dan itu terasa sangat manis. Percayalah. Selama mereka berdansa, keduanya mengerti, cinta itu mudah. Hanya cara jalannya yang terkadang susah dimaknai. Juga dimengerti.

Selama mereka berdansa, mereka sadari, sejauh apapun mereka terpisah. Segila apapun cara untuk menghindarinya. Jika Tuhan mengatakan cukup dia di sisi Velin, Darel, maka tak ada yang dapat menghalanginya. Siapapun. Dan apapun.

**

Keesokan harinya....

Velin terbangun ketika merasakan sentuhan hangat di permukaan dahinya. Kedua mata Velin perlahan terbuka. Bibir Velin tersenyum dikala menyadari siapakah pemilik sentuhan hangat itu. Darel. Darel membuka paginya dengan senyuman lembut. Dan senyuman itu tulus. Velin selalu melihat itu lewat kedua bola mata kelamnya.


"Aku sudah buatin kopi karamel kesukaan kamu," bisik Darel tepat di sisi telinga kanan Velin. Velin menahan geli. Terkekeh. Perlahan Velin bangun dari tidur panjangnya. Ia rasa tubuhnya menjadi begitu dingin. Velin menggigil. "Kamu demam. Itu salahku," ucap Darel yang tengah memandang Velin dengan tatapan sulit diartikan. Tiba-tiba ia memeluk Velin. Pelukan hangatnya membuat tubuh Velin bereaksi ikut menghangat. Nyaman dan tenang.


"Maaf."

"Maaf."

"Maaf."

Darel terus mengulang kata itu di sisi telinga kanan Velin. Velin menjauhkan wajah dari Darel. Menatap Darel lembut dan berkata, "bukan masalah. Tadi itu malam terindah. Dan aku cukup rela sakit demi menikmati malam itu." Darel ingin mengelak tapi akhirnya tersenyum sambil mengacak-acak rambut Velin pelan. "Aku seperti suami yang membangunkan istrinya," Ucap Darel tertawa. Velin rasa pipinya memanas seketika.

DAREL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang