[46] Menguak Misteri

11.6K 828 83
                                    

"Kau sendiri yang mengatakan bahwa aku adalah rumahmu, kau yang sendiri mengatakan bahwa aku adalah payungmu dikala hujan, kau sendiri yang mengatakan bahwa aku adalah bulanmu di kala malam, tapi kenapa kau juga yang mematahkan semua perkataan itu?"

-Velin-

Prananta's Series
-------------------

Velin melangkah mendekati sosok Darel yang terduduk di atas lantai dengan bergetar. Kedua tangan Velin saling bercengkram kuat satu sama lain. Velin tahan mati-matian tangisnya agar tak terdengar. Begitu tepat berada di belakang Darel, sebuah suara mengejutkan Velin setengah mati. Sebuah suara yang begitu dingin namun lemah, "berhenti Velin. Pergilah."

Kedua lutut Velin lemas seketika. Velin terduduk di belakang Darel dengan isak tangis pecah tertahan. Ia peluk Darel dari belakang. Erat. Begitu erat. "Kumohon, pergilah. Aku benci kau mengetahui kelemahanku." Velin menggeleng kuat. Dapat ia rasakan gerakan tangan Darel yang mengusap air matanya kasar dari depan. Helaan napas Darel begitu berat seolah menggambarkan beban hidup yang ia sembunyikan selama ini.

"Pergi. Kumohon. Sekarang."

Suaranya penuh penekanan, dingin, dan tajam. Tapi Velin tak peduli. Demi Tuhan Velin ingin menangis keras sekarang juga. "A- aku ... tak akan pernah ... pergi. Biarkan aku ... memelukmu Da- Darel," ucap Velin terbata menahan tangis. "KUBILANG PERGI SEKARANG!!" Velin terkejut dengan bentakan Darel. Tapi itu tak melepaskan pelukannya pada Darel. Malahan semakin erat. Dengan susah payah Velin menahan air mata yang akan jatuh dan meneguk saliva.

"Kau sendiri yang mengatakan bahwa aku adalah rumahmu, kau yang sendiri mengatakan bahwa aku adalah payungmu dikala hujan, kau sendiri yang mengatakan bahwa aku adalah bulanmu di kala malam, tapi kenapa kau juga yang mematahkan semua perkataan itu?" Lirih Velin dengan bergetar di akhir kalimat. Darel dengan cepat melepas pelukannya dan membalikkan badan. Membuat Velin langsung berhadapan dengan wajah tampan Darel yang kusut. Bola mata Darel memerah. Antara sehabis menangis dan marah.

"Karena, aku, benci, kau, mengetahui, kekuranganku, sayang." Darel menekankan setiap kata sambil menangkup wajah Velin. Menatap Velin tajam seakan ia ingin menguliti Velin sekarang juga. Tapi yang Velin lihat, bukanlah wajah amarah. Melainkan wajah kesedihan. "Jika aku mengetahui kekuranganmu ada apa dengan itu Darel? Apa masalahnya? Malahan aku akan menguatkanmu, di sisimu," lirih Velin dengan terus menatap mata Darel lembut. Velin genggam kedua tangan Darel yang menangkup wajahnya.

"Aku takut...." balas Darel hampir seperti bisikan. Darel menundukkan wajahnya. Membuat Velin tak mampu lagi menatap bola mata kelam itu. "Takut kenapa? Tidak ada yang perlu ditakutkan, Darel." Darel tertawa miris. "Aku takut jika kau mengetahui kelemahanku kau akan menjadikan itu sebagai kekuatanmu melarikan diri dariku! Kau akan menghancurkan aku dengan kelemahanku sendiri Velin! Kau akan meninggalkanku!" Teriak Darel murka tiba-tiba.

"Apa? Meninggalkanmu? Aku bahkan tidak pernah lagi mengingat kosa kata itu di otakku Darel!" Velin mengelus wajahnya pelan. Berusaha meredahkan amarah Darel. Darel terdiam menatap Velin. Napasnya yang semua memburu karena amarah perlahan menjadi tenang. "Tapi kau sakit," ucap Darel khawatir kemudian. "Ayo kembali ke kamar." Darel lekas berdiri dan hendak menggendong tubuh Velin tapi  Velin menahannya.

"Ceritakan padaku." Velin menarik tangan Darel untuk kembali duduk. Velin genggam erat kedua tangan Darel. Velin tahu ia sangat rapuh sekarang. "Cerita apa?" Tanya Darel serak. "Mom-mu. Aku ingin mendengar tentangnya," balas Velin yang dihadiahi tatapan tak percaya Darel. Sekilas Velin melihat air mata menitik di ujung mata Darel tapi lelaki itu menghapusnya dengan cepat. "Tak ada yang perlu di dengar tentangnya," ucap Darel dingin.

DAREL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang