[14] Putus

19.4K 1.1K 82
                                    

Aku mencintaimu tanpa kata 'walau pun'. Lalu, bagian mana lagi yang tak kau pahami?

DAREL
------------------------------

"Mpph- Lepas!! Brengsek!!" Velin mendorong tubuh Darel sekuat mungkin tapi ia terus menahan gadis kesayangannya itu seperti orang kesurupan. Darel mendorong Velin kasar hingga punggung Velin terhimpit tembok pagar sekolah.

"Berani ngumpat kamu sekarang, ya?" Ia tersenyum miring, lagi. Tapi kali ini kedua bola matanya benar-benar memerah.

Tuhan.. aku takut.

"Ka- Kalo iya kenapa!? Kamu pikir kamu siapa berani gebukin orang sampe sekarat gitu!? Ini bukan kamu Darel! BUKAN KAMU!" Velin berusaha mengumpulkan keberaniannya. Rasanya, air matanya akan menetes lagi dan lagi. Dada Velin sesak seakan mau meledak. Velin tak pernah menduga Darel akan melakukan hal senekat dan semengerikan ini.

"Bukan aku? Emang Darel yang biasanya seperti apa, hah? Cowok lembut yang selalu ngertiin kamu gitu? Yang diem doang kalo tau ceweknya sama cowok lain!?" Velin menggeleng kuat sembari menahan isak tangisnya. "Bukan Darel, bukan! Kamu yang aku kenal adalah Darel yang menghargai aku! Yang membuat aku tersenyum dengan cara kamu sendiri! Kamu yang gak kasar... kamu- yang berbeda." Velin sesenggukan hingga dadanya terasa lebih sakit.

Ia lihat mata Darel yang awalnya liar itu, perlahan melembut. Velin pun segera memeluknya. "Darel- maaf... kumohon jangan seperti ini. Maaf." Detik itu juga, tubuh Darel yang menegang itu pun layu seakan rapuh dan, kepalanya terjatuh lemas di bahu kanan seorang Velin.

"Aku- Aku takut... sayang," lirih Darel serak lebih mirip seperti bisikan. Velin mengelus punggungnya pelan berulang kali, berusaha menenangkan. Tapi... sekuat apapun seorang Velin berusaha mengontrol Darel, jujur....

Sakit di dadanya sungguh terasa hebat.

**

Besok adalah olimpiade cerdas cermat.

Velin menatap materi di hadapannya dengan tatapan kosong. Pening di kepalanya mengernyit sedari tadi. Memori kejadian saat melihat Farhanz yang sekarat berbalut darah dan juga, sosok baru Darel yang begitu liar dan kasar. Semua itu, terus terulang di benak Velin. Memutar-mutar bagai kaset rusak.

Akh... baiklah, mari akhiri semua ini Velin.

Velin tak ada melihat sosok Bima di kelas. Mungkin dia izin pulang lebih awal. Ntah apa yang dilakukan Darel padanya.  Yang jelas sekarang... Velin takut.

Velin, tak bisa lagi bertahan.

**

Kelas Velin pulang lebih awal lima menit daripada yang lain. Itu dikarenakan guru pengajar mereka harus segera pergi dan lebih memilih memulangkan kami lebih awal.

Toh, tinggal lima menit doang.

Velin berjalan dengan serentatan buku di pangkuan tangannya. Pandangan matanya kosong bercampur ngilu. Ia terus berjalan, menuju kelas Darel. Velin berdiri menungguinya agak jauh di depan pintu. Dari sudut sini, Velin dapat melihat sosok Darel yang duduk tegap memperhatikan guru. Ada guratan lelah di wajahnya. Velin tersenyum simpul.

Akhirnya, kelas Darel pun keluar. Kedua bola mata Darel seketika berbinar begitu tahu Velin sudah menungguinya. Ia tersenyum dan segera menggandeng lengan kanan milik Velin. Ada setrum kaku yang menyengat tubuh Velin tatkala kulit Darel bersentuhan dengan kulitnya tapi Velin, mengabaikannya. Berusaha mengabaikan lebih tepatnya.

"Kamu lelah, ya?" Tanya Velin lembut ketika  keduanya sudah tiba di parkiran.

"Dikit." Darel tersenyum lagi.

"Aku juga. Tapi gak dikit. Banyak," sahut Velin sambil tersenyum lirih.

Dahi Darel mengkerut heran mendengar pernyataan itu. "Maksud kamu? Ah! Kita refreshing aja yuk. Aku ajak ke cafe waktu itu," ucap Darel berusaha riang sambil mengambil motor nya di parkiran. Ia tak memakai mobil hari ini. Ntah kenapa. "Ayuk naik sayang." Darel mengisyaratkan Velin untuk segera naik motor. Velin pun naik masih dengan pandangan lelah dan kosongnya.

Darel menjalankan motornya ke kafe kesukaannya itu. Sepanjang perjalanan, Velin memeluk tubuh Darel, dengan erat. Ia hirup aroma tubuhnya kuat-kuat. Aroma tubuh yang telah menjadi candu bagi Velin. Velin akan mengingat aroma ini. Ia, tak akan melupakannya....

Mereka pun tiba. Darel kembali menuntun Velin memasuki kafe. Mereka memilih tempat duduk yang terasa nyaman. Velin dan Darel pun duduk berhadapan. "Sayang... mau pesan apa, hm?" Tanya Darel dengan nada lembutnya.  "Aku ikut kamu," jawab Velin sambil tersenyum, "He he, yaudah." Darel terkekeh dan memesan- ntahlah, Velin tak begitu peduli.

Velin terus menatap Darel sambil tersenyum. Yang paling ia suka dari Darel adalah, kedua bola mata hitam kelamnya. Velin seolah jatuh pada dunianya ketika bola mata itu menguncinya. Darel balas menatap Velin dalam hening. Atmosfer yang terasa menyakitkan itu tiba-tiba menyergap Velin. Lagi.

"Darel...." Panggil Velin setelah sekian menit keduanya beradu pandang.

"Iya, onyet sayang?" Darel nyengir.

Dada Velin terenyuh. Seperti sakit tapi merindu.

"Kamu tau apa yang aku rasain?" Tanya Velin lembut. Saat itu pula pesanan mereka tiba. Darel menyuruh Velin makan terlebih dahulu tapi Velin mengatakan ingin berbicara dengannya. Ia mengalah.

"Iya, kamu takut, kamu syok, bener?" Tanya Darel balik sembari menyeruput minumannya pelan. "Kamu, ada apa dengan kamu yang sebenarnya Darel? Atau selama ini... aku yang terlalu bodoh karena tak mengenal sosok aslimu?" Rasa sakit seakan menyeruak di dada Velin dengan cepat. Dapat Velin rasakan kini tatapan Darel yang menusuknya.

"Kamu mengerikan, Darel," sambung Velin tersenyum setelah susah payah untuk tidak mengeluarkan air mata.

Darel terdiam.

"Dan aku gak tahu kenapa sekarang bisa serumit ini... " ucap Velin lagi yang kini kedua tangannya saling terpaut berusaha menguatkan. Dapat ia rasakan keringat dingin menyebar di area telapak tangannya seketika. "Maaf," jawab Darel setelah sekian detik.

Hanya itu....

Tak taukah ia betapa perih rasa sakit di dada Velin?

Velin tersenyum lembut, berusaha tegar.

"Kita impas. Kamu berbuat, jadi, aku juga akan berbuat suatu hal."

"Velin... kamu ngomong apa sih? Makan sudah. Aku capek," seru Darel seperti menahan emosi dan melahap makanannya. Berusaha mengabaikan topik obrolan mereka.

Ha ha, ini perih.

"Aku juga capek," balas Velin tersenyum lelah dan langsung berdiri dari duduknya.

"Kita sama-sama capek."

Darel menghentikan kegiatannya dan sontak menatap Velin tajam. Sangat tajam. Hingga terasa menembus ulu hati Velin. "Maksud kamu apa sayang, hm? Ngapain berdiri? Cepet duduk, makan, sekarang."

Demi apa pun, betapa susahnya kini, Velin menahan air mata. Mengabaikan sejuta perih walau itu teramat menyakitkan. Velin menatap Darel dengan kedua bola matanya yang tak mampu lagi berkata. Velin tersenyum, ia lelah. Tolong.

"Darel, kita putus."














TBC

DAREL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang